Friday, May 23, 2008

Melihat Bintang

Malam ini banyak bintang, Sayang. Apakah kamu melihatnya di luar sana? Atau ayahmu sudah menyuruhmu tidur bersama kedua adikmu? Apa kabarnya perdu bunga pagi sore di halaman rumah kalian? Sore tadi pasti mekar semua. Jangan terlalu jauh kalau bermain sepeda ya. Adik-adikmu tak ada yang menemani di rumah.

Ayahmu, apakah ia masih selalu sempat membawa kalian jalan-jalan? Aku ingin sekali ikut bersama kalian. Ingat tidak waktu kita pergi belanja ke toserba? Kita naik becak berempat. Aku, kamu dan kedua adikmu. Sepanjang jalan kalian berceloteh riang. Menunjukkan jalur busway yang baru dibangun dan bertanya-tanya tentang Jakarta.

"Busway di Jogja nanti seperti di Jakarta," katamu. "Busway di Jakarta untuk mengurangi kemacetan kan, Tante?"
Aku mengangguk. Ah, pintarnya. Kamu tahu darimana itu? Membaca buku atau berdiskusi dengan ayahmu?
Lalu adik-adikmu berlari-lari di dalam toserba. Dengan sikap dewasa kamu menegur mereka. "Jangan begitu Dik, nanti Tante repot. Ayo jadi anak manis. Nanti Kakak beritahu Bapak kalau kalian nakal."

Di toserba itu kubiarkan kalian berkeliling sepuasnya. Aku bahkan tak peduli kita jadi terlalu lama pergi dan ayah kalian akan memarahiku. Kubiarkan kalian melihat segala macam benda dan mainan. Kubiarkan kalian memilih semua makanan yang kalian inginkan untuk piknik kita esoknya. Lalu kalian bertiga sibuk mengagumi stiker bergambar di bagian alat tulis.
"Mau? Ayo pilih satu-satu..."
"Boleh Tante?" Wajahmu yang gembira mewakili perasaan adik-adikmu juga.
"Iya, pilih saja."
"Tapi ini mahal, Tante."
Ah, aku tahu. Kalian takut ayah kalian marah. "Nggak apa-apa. Bapak nggak akan marah. Sekali-sekali boleh. Tante kan nggak sering-sering ada di Jogja."

Ayah kalian memandangku dengan wajahnya yang tak terbaca ketika kita pulang membawa sekantong plastik besar makanan. Kalian juga menunjukkan stiker itu dengan wajah berbinar-binar. Lalu ia mulai memeriksa belanjaan kita.
"Aku nggak pernah membelikan yang seperti ini," katanya sambil menunjuk beberapa jenis makanan kecil.
Ah dia pasti jengkel, aku sudah melanggar kedisiplinan yang ia terapkan pada kalian. "Sekali-kali boleh kan?" Aku tersenyum dan mengedipkan mata.
Ia tidak bicara lagi. Dan kutaruh semua makanan itu di kulkas.

Sampai sekarang, aku selalu tersenyum membayangkan adegan itu. Ayahmu yang pendiam tetapi sekeras batu, dan aku, tamunya yang pembangkang.

Malam ini, aku rindu suara tawa dan celoteh kalian yang nyaring itu. Dan beratnya bobot tubuh adikmu dalam gendonganku. Dan aku rindu bunga pagi sore berwarna jingga yang bermekaran itu. Nanti kita tanam bunga lain di pekarangan ya. Bunga-bunga berwarna kuning seperti bintang-bintang di atas sana.

Bintang-bintang di atas rumahku adalah bintang-bintang yang sama di atas rumahmu juga. Suatu hari kita akan duduk bersama memandang mereka. Dengan adik-adikmu juga.


Image and video hosting by TinyPic

8 comments:

Don Danang said...

gue berpikir keras baca postingan ini. Huhuhu. Otak saya nggak nyampe.

Bagus bikin gue berimajinasi...

Gue koq meras katro?

Enno said...

ini nyata aku alami...
makanya kamu gak akan ngerti. wajar aja, bkn krn kamu katro.. jgn merendahkan diri sendiri ah! gak baik :)

Anonymous said...

bintang.
seperti rembulan, dedaunan, debur ombak, kicau burung, dan segenap semesta.
semua akan menyapamu.

bintang.
mesra kau menyapaku.
dalam diam.

Enno said...

gundul: trims udah melengkapi :)

Izka said...

Sebuah relasi bisa menjadi indah kalau ada kebersamaan dan saling memahami

Enno said...

izka: kamu benar :) salam kenal!

Anonymous said...

salam buat peri kecilnya ya
yusuf juga pengen kenal sama peri kecilmu.. posting photonya dong..

Enno said...

mamae yusuf: aih mbak, yusuf sdh sembuh kah?... iya ntar kukasih liat fotonya :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...