Friday, May 2, 2008

Perempuan Yang Membenci Stasiun

Bintang tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di tempat itu. Tempat dimana gerbong-gerbong datang dan pergi dengan bunyi dengus keras bak raksasa sedang menahan bersin. Rel-rel tua dan berkarat yang mengular di antara deretan peron adalah pemandangan paling menjengkelkan baginya. Apalagi bunyi deritnya setiap kali dirayapi ular besi dari antah berantah itu.

Ia muak pada ubin-ubin kuno berkerak di pelataran, jam besar kelabu yang berdebu, dan suara peluit kepala stasiun yang melengking menusuk kuping. Dentang lonceng yang menandakan keberangkatan kereta adalah musik terjelek yang pernah didengarnya. Dan wajah-wajah gelisah di jendela itu... Mengapa mereka pergi jika tak ingin pergi!
Tak ada kegembiraan dan keceriaan di tempat bernama stasiun itu. Hanya ada dinding-dinding suram penuh jejak tangan berminyak. Dan sinar matahari yang berjuang keras membagi warna.

Maka sudah lama ia tidak datang lagi ke tempat itu. Meski hari ini tak ada pesawat terbang yang menyisakan tiket untuknya. Tak ada bus yang bisa membawanya secepat angin ke kota tujuannya. Ia tetap tak mau pergi ke stasiun dan naik kereta api.

"Tapi kamu harus segera tiba di Jogja. Proyek itu sangat penting, tidak boleh datang terlambat."
"Tidak."
"Begini saja. Kamu berangkat naik kereta, nanti pulangnya dengan pesawat terbang. Kamu kan harus segera kembali ke Jakarta."
"Aku benci stasiun Jakarta."
"Naik dari stasiun Bekasi saja. Kuantar dengan mobilku."
"Tetap saja aku harus turun di stasiun, di Jogja sana. Aku benci stasiun Jogja."
"Kenapa? Kenapa kamu membenci stasiun?"

Kenapa? Karena stasiun mengingatkannya pada perjumpaan dan perpisahan yang terjadi seabad silam. Stasiun Jakarta mengingatkannya pada Bulan. Yang berdiri dengan wajah ragu di pelataran yang semrawut. Diantara para penumpang yang baru turun dari kereta. Bulan dengan ransel dan peluh di kaos hitamnya. Bulan yang akhirnya mengecewakannya ketika tak lagi bisa membagi sinarnya.

Dan Matahari yang mengantarnya ke Stasiun Jogja saat akan pulang ke Jakarta. Matahari yang membawakan ranselnya dan ikut naik ke kereta mencarikan nomor tempat duduknya. Yang berdiri di peron sambil melambaikan tangan padanya yang terkurung kaca jendela. Matahari yang sinarnya pernah menghangatkannya pada suatu masa yang teramat singkat.

Apakah ia masih harus pergi ke stasiun, menjejaki lagi masa-masa yang pernah menyenangkan itu? Haruskah ia kembali mengejar kereta, yang tak tahu akan membawanya kepada siapa.
Bintang membenci stasiun yang menyimpan semua harapan usang yang ingin dilupakannya. Terpatri di tembok-temboknya yang suram, di jarum-jarum jam yang berdetak sumbang di tiang.
Kalau harus pergi ke Jogja juga, lebih baik ia jalan kaki saja.

5 comments:

Anonymous said...

jalan kaki? jauh mbak...:D

Enno said...

yee, ini cuma fiksi hahaha

Anonymous said...

Yaa mbak jauh loh jalan kaki, mending ngesot aja! Hihihi

sepertinya kenangan mu terlalu banyak di Yogya! padahal ak berencana akan menemui mu di kota yang selalu ramai dengan celotehan tukang becak malioboro yang bilang: 3 ribu mas keliling Yogya ato mo ngamar mas?!

Hihihi

zen said...

kalo bagian depan foto stasiun tugu itu diambil pagi hari, mungkin aku jadi akan ingat jogja.

Enno said...

jogja memang ngangenin ya guys? termasuk tukang becaknya juga hehehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...