Sudah seminggu ini dia merindukan penganan itu. Roti goreng empuk berbentuk bulat pipih yang berlubang di tengahnya. Donat. Hari ini dia harus mendapatkan makanan itu sebelum dirinya mengigau tengah malam, memanggil-manggil si donat dengan penuh nafsu dalam tidurnya. Tetapi sebelumnya, dia harus pergi ke pengadilan Tipikor. Menghadiri persidangan seorang kenalannya yang didakwa korupsi.
Dia berangkat pagi-pagi, menembus kemacetan Jakarta sehabis hujan. Ruang sidang sudah penuh ketika dia tiba. Di sana, dia bertemu sepupunya.
Sejenak, donat-donat gurih yang mencair di lidah terlupakan ketika putusan hakim tak memuaskan. Dia keluar bersama sepupunya. Menghindari tatapan beberapa wartawan. Mungkin satu dua ada yang mengenalinya, karena sesungguhnya dia juga bagian dari komunitas mereka.
Keduanya menunggu senja di sebuah kedai donat, di Pasar Festival Kuningan. Secangkir teh darjeeling panas dan donat coklat terhidang di meja didepannya. Sepupunya menghirup cangkir teh hijaunya lalu menatapnya.
“Tadi ada kolegamu tidak?” Tanyanya.
“Tidak. Wartawan yunior semua.”
“Putusan hakim terlalu berat ya? Kamu kenal pengacaranya?”
“Nggak tuh! Pengacaranya bodoh. Sudah pernah kubilang sewa pengacara terkenal. Malah sewa pengacara dari antah berantah yang entah lululan kampus mana. Kamu lihat nggak, tadi tampangnya pucat pasi waktu hakim membacakan putusan. Di depan kliennya malah kayak orang panik. Pengacara bonafid nggak akan begitu. Pede dong kalau masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh!”
“Mestinya kamu jadi pengacara saja. Sekolah hukum malah jadi wartawan!”
“Wah, nggak deh! Bisa stress hidupku!”
Sepupunya tergelak.
Teh darjeeling dan donat kedua dipesan. Di luar senja hadir perlahan.
“Aku cuma kepingin hidup tenteram. Jauh dari hiruk pikuk dan bebas dari stress.”
“Tinggal di kota kecil, dekat dengan alam, bisa terus menulis… iya kan?”
Dia tersenyum mendengar sepupunya menyambung. Sepupunya yang bersahabat dengannya sejak kecil tahu apa isi hatinya.
“Tahu nggak, aku kepingin tinggal di Jogja. Ada banyak teman di sana…”
“Yaaah... sudah kuduga.”
Dia berangkat pagi-pagi, menembus kemacetan Jakarta sehabis hujan. Ruang sidang sudah penuh ketika dia tiba. Di sana, dia bertemu sepupunya.
Sejenak, donat-donat gurih yang mencair di lidah terlupakan ketika putusan hakim tak memuaskan. Dia keluar bersama sepupunya. Menghindari tatapan beberapa wartawan. Mungkin satu dua ada yang mengenalinya, karena sesungguhnya dia juga bagian dari komunitas mereka.
Keduanya menunggu senja di sebuah kedai donat, di Pasar Festival Kuningan. Secangkir teh darjeeling panas dan donat coklat terhidang di meja didepannya. Sepupunya menghirup cangkir teh hijaunya lalu menatapnya.
“Tadi ada kolegamu tidak?” Tanyanya.
“Tidak. Wartawan yunior semua.”
“Putusan hakim terlalu berat ya? Kamu kenal pengacaranya?”
“Nggak tuh! Pengacaranya bodoh. Sudah pernah kubilang sewa pengacara terkenal. Malah sewa pengacara dari antah berantah yang entah lululan kampus mana. Kamu lihat nggak, tadi tampangnya pucat pasi waktu hakim membacakan putusan. Di depan kliennya malah kayak orang panik. Pengacara bonafid nggak akan begitu. Pede dong kalau masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh!”
“Mestinya kamu jadi pengacara saja. Sekolah hukum malah jadi wartawan!”
“Wah, nggak deh! Bisa stress hidupku!”
Sepupunya tergelak.
Teh darjeeling dan donat kedua dipesan. Di luar senja hadir perlahan.
“Aku cuma kepingin hidup tenteram. Jauh dari hiruk pikuk dan bebas dari stress.”
“Tinggal di kota kecil, dekat dengan alam, bisa terus menulis… iya kan?”
Dia tersenyum mendengar sepupunya menyambung. Sepupunya yang bersahabat dengannya sejak kecil tahu apa isi hatinya.
“Tahu nggak, aku kepingin tinggal di Jogja. Ada banyak teman di sana…”
“Yaaah... sudah kuduga.”
Mereka saling bertukar senyum. Tanpa bisa dicegah, dia teringat orang-orang yang dikenalnya di kota tua itu. Orang-orang yang mengajarinya mencintai bumi. Dua orang di antara mereka yang pernah dan sedang mengisi hidupnya. Ada bocah-bocah yang dia cintai. Kehidupan mereka jauh dari segala intrik seperti yang disaksikannya tadi di sebuah dunia kecil bernama persidangan.
“Nggak terlalu sepi? Di sana nggak banyak hiburan kayak di sini lho,” kata sepupunya yang doyan ke mall.
“Ah, yang penting masih ada yang jualan donat!”
Potongan terakhir donat lenyap di mulutnya. Dan senja pun turun, mengusir matahari.
“Nggak terlalu sepi? Di sana nggak banyak hiburan kayak di sini lho,” kata sepupunya yang doyan ke mall.
“Ah, yang penting masih ada yang jualan donat!”
Potongan terakhir donat lenyap di mulutnya. Dan senja pun turun, mengusir matahari.
4 comments:
mbak..
sehat kan?
kalo masalah tulisan mbak mah, udah gak aku raguin lagi..
huhuhuh..
mantep..
alhamdulillah, sehat..
wah pok, tulisanmu juga sdh tdk diragukan lagi, very entertaining! :D
aku malah mumet no kalo di jogja :) seminggu pertama betah. bangun pagi ada sarapan di meja, tinggal makan :D siang2 bisa tidur siang, duduk2 di teras yang nyaman. abis seminggu, bingung deh, mulai telpon temen2 di jkt, hahaha.
teman baru: bener kdg2 juga gitu sih hehehe... hrs kreatif cari kegiatan... anyway, aku sih ttp mrs asik aja kalo disana... :p
Post a Comment