Sebuah terowongan. Tidak cukup besar. Temaram, dingin, dan memanggil-manggil untuk ditelusuri. Tetapi, saya bergeming saja. Bertahan hanya beberapa meter dari mulutnya.
Masih ada sisa bau asap dan bahan bakar, yang menguar dari bebatuan dan rel besinya yang licin.
Kereta terakhir sudah lama lewat.
Stasiun Lampegan di Cianjur akhirnya saya datangi. Satu lokasi heritage, tidak jauh dari desa di mana Gunung Padang berada. Kami mampir dulu ke Lampegan, sebelum menuju Gunung Padang. Menyempatkan diri melihat terowongan kereta api kuno itu dan membayangkan sejarahnya.
Tidak ada guide di sana. Sayang sekali.
Stasiun itu memang masih berfungsi, meski hanya untuk satu kereta api dengan rute Sukabumi-Cianjur dan sebaliknya.
Stasiunnya bersih. Sudah tertata dengan cat baru dan pot-pot tanaman hias. Terowongannya juga bersih. Mulutnya juga dicat. Mungkin, karena stasiun ini sering dikunjungi peminat sejarah, sehingga mereka berbenah.
Lampegan memang mendapat perhatian pemerintah. Setelah sempat runtuh di beberapa bagian pada tahun 2001, stasiun ini dibuka kembali dan difungsikan tahun 2010, dengan peresmian oleh Presiden SBY.
Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, pada periode 1879 - 1882. Tahun tersebut tertulis di pintu atas liang terowongan. Sementara itu, ada beberapa pendapat tentang asal kata "Lampegan". Ada yang mengatakan, berasal dari bahasa Belanda ketika masinis kereta melewati terowongan yang gelap dan menyuruh anak buahnya menyalakan lampu. "Lampen aan! Lampen aan!"
Ada juga, yang mengatakan berasal dari perkataan van Beckman, mandor Belanda yang mengawasi pembangunan terowongan. Saat memeriksa dalam terowongan, ia menyuruh anak buahnya memegangkan lampu. "Lamp pegang!"
Lamp dalam bahasa Belanda berarti lampu, by the way :D
Jadi, seperti saya bilang, saya tidak masuk terlalu dalam. Tidak sempat menemukan ceruk di dinding untuk menepi ketika kereta api lewat sementara kita tengah berada di terowongan. Saya benar-benar nggak berminat menelusur, karena hawa di dalam dingin dan berangin.
Julie dan Adit ada di depan saya, mencoba berjalan sambil menjaga keseimbangan di atas besi rel. Setelah memotret kaki-kaki mereka, saya memanggil mereka untuk keluar.
"Udah, yuk!"
Adit, seperti biasa, paling sudah diajak sudahan. Padahal, saat itu dialah yang saya khawatirkan. Ia masih sibuk mengutak-atik kameranya. Saya kepengin dia segera pergi ke tempat terang.
"Adit!"
"Iya, iya, bentar, Mbak. Kayaknya batere kameraku low ni..."
Di Stasiun Lampegan, masih ada rumah lama yang sepertinya dulu adalah rumah dinas kepala stasiun. Rumah itu sekarang kosong, meski telah direnovasi dan dicat ulang. Tak jauh darinya ada lingkaran dengan bekas tiang, terbuat dari baja. Mirip semacam tuas atau penggerak.
Kata Aries, kemungkinan itu adalah semacam alat penggeser rel jika lokomotif akan langsir.
Rombongan kami tidak terlalu lama berada di stasiun ini, karena masih harus ke Gunung Padanng. Maka, kami pun segera kembali ke mobil, untuk meneruskan perjalanan yang sudah dekat.
Belakangan, setelah saya kembali ke rumah, seorang teman asal Cianjur bercerita tentang sebuah kisah tentang terowongan itu.
Menurut kisah yang turun temurun di kalangan penduduk setempat, pada tahun 1882, terowongan Lampegan selesai dibangun. Untuk meresmikannya, Belanda mengadakan pesta dan mengundang penari ronggeng terkenal pada masa itu, Nyi Sadea.
Pertunjukan usai menjelang dini hari, Nyi Sadea pulang diantar seorang lelaki melalui terowongan yang baru resmi itu, Konon, sejak itu keberadaanya tidak diketahui. Nyi Sadea tidak pernah kembali ke rumah. Penduduk setempat menganggap Nyi Sadea sudah diperistri oleh penunggu terowongan.
Wallahu alam ya. Namanya juga mitos penduduk. Yang jelas, buat peggemar kereta api, terowongan Lampegan bisa untuk belajar perkereta apian.
Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, pada periode 1879 - 1882. Tahun tersebut tertulis di pintu atas liang terowongan. Sementara itu, ada beberapa pendapat tentang asal kata "Lampegan". Ada yang mengatakan, berasal dari bahasa Belanda ketika masinis kereta melewati terowongan yang gelap dan menyuruh anak buahnya menyalakan lampu. "Lampen aan! Lampen aan!"
Ada juga, yang mengatakan berasal dari perkataan van Beckman, mandor Belanda yang mengawasi pembangunan terowongan. Saat memeriksa dalam terowongan, ia menyuruh anak buahnya memegangkan lampu. "Lamp pegang!"
Lamp dalam bahasa Belanda berarti lampu, by the way :D
Jadi, seperti saya bilang, saya tidak masuk terlalu dalam. Tidak sempat menemukan ceruk di dinding untuk menepi ketika kereta api lewat sementara kita tengah berada di terowongan. Saya benar-benar nggak berminat menelusur, karena hawa di dalam dingin dan berangin.
Julie dan Adit ada di depan saya, mencoba berjalan sambil menjaga keseimbangan di atas besi rel. Setelah memotret kaki-kaki mereka, saya memanggil mereka untuk keluar.
"Udah, yuk!"
Adit, seperti biasa, paling sudah diajak sudahan. Padahal, saat itu dialah yang saya khawatirkan. Ia masih sibuk mengutak-atik kameranya. Saya kepengin dia segera pergi ke tempat terang.
"Adit!"
"Iya, iya, bentar, Mbak. Kayaknya batere kameraku low ni..."
Di Stasiun Lampegan, masih ada rumah lama yang sepertinya dulu adalah rumah dinas kepala stasiun. Rumah itu sekarang kosong, meski telah direnovasi dan dicat ulang. Tak jauh darinya ada lingkaran dengan bekas tiang, terbuat dari baja. Mirip semacam tuas atau penggerak.
Kata Aries, kemungkinan itu adalah semacam alat penggeser rel jika lokomotif akan langsir.
Rombongan kami tidak terlalu lama berada di stasiun ini, karena masih harus ke Gunung Padanng. Maka, kami pun segera kembali ke mobil, untuk meneruskan perjalanan yang sudah dekat.
Belakangan, setelah saya kembali ke rumah, seorang teman asal Cianjur bercerita tentang sebuah kisah tentang terowongan itu.
Menurut kisah yang turun temurun di kalangan penduduk setempat, pada tahun 1882, terowongan Lampegan selesai dibangun. Untuk meresmikannya, Belanda mengadakan pesta dan mengundang penari ronggeng terkenal pada masa itu, Nyi Sadea.
Pertunjukan usai menjelang dini hari, Nyi Sadea pulang diantar seorang lelaki melalui terowongan yang baru resmi itu, Konon, sejak itu keberadaanya tidak diketahui. Nyi Sadea tidak pernah kembali ke rumah. Penduduk setempat menganggap Nyi Sadea sudah diperistri oleh penunggu terowongan.
Wallahu alam ya. Namanya juga mitos penduduk. Yang jelas, buat peggemar kereta api, terowongan Lampegan bisa untuk belajar perkereta apian.
2 comments:
Wah gw baru tau asal nama lampegan dr blog lo mba hahaha :D
Selamat malam Mba Enno, kami dari Nyindir.com ingin mengajak Anda bergabung dengan kami sebagai Author/Penulis. Apakah Mba tertarik? mungkin untuk ngobrol-ngobrol mba bisa menghubungi email saya Nisaalfarizi@gmail.com. Terimakasih
Post a Comment