Sepertinya pemilihan waktu kami nggak tepat deh, ketika memutuskan untuk mampir makan siang di Pantai Indrayanti. Ketika kami melewati pantai ini sebelum ke Siung, suasana masih tidak sepadat ketika kami tiba siangnya. Musik dangdut berkumandang dari pengeras suara, membuat saya terlempar ke suasana kondangan di sebuah kampung. Begitu pula jajaran bus dan kendaraan pribadi, juga motor di mana-mana.
Ini kondangan apa pantai sih? Saya menggerendeng dalam hati.
Tetapi di sini, satu-satunya pantai yang tampaknya punya banyak pilihan makanan. Ada beberapa kafe, meja indoor dan outdoor, dengan pelayan berseliweran melayani pengunjung. Seperti saya bilang, pantai ini jauh dari kesan damai seperti dalam foto-foto yang saya lihat di internet ketika browsing sebelumnya.
Di pantainya, orang-orang bermain air dengan hebohnya. Di pasirnya, orang-orang duduk atau berlalu lalang. Kami bahkan nggak kebagian kursi untuk mulai memesan makanan. Berisik banget pokoknya. Gila deh. Pantai Kuta dan Sanur aja nggak segini semrawutnya.
Mbak Utik sebelumnya bilang ke saya, Pantai Indrayanti itu katanya sih mirip Kuta. Saya asumsikan Mbak Utik sudah pernah ke Bali, tapi belum sempat ke Indrayanti (karena pantainya belum lama diresmikan). Kuta itu, meskipun penuh dengan turis, tapi tetap damai dan tenang. Banyak kios-kios suvenir dan art shop di sepanjang garis pantai sehingga kita bisa cuci mata dan belanja. Di Indrayanti, nggak ada art shop dan kios suvenir. Ada sih kios suvenir, tapi yang dijual seadanya dan nggak menarik.
Mbak Uti, pantainya nggak mirip Kuta sama sekali. Mau duduk buat makan aja harus cari dan gotong meja sendiri. Hiks...
Karena semua meja penuh, saya dan Wuri akhirnya mencari akal. Kebetulan ada sebuah meja teronggok tanpa kursi. Atas seizin pelayan kafe, kami menggotong meja itu ke tempat teduh, lalu mulai hunting kursi yang teronggok tanpa meja. Dapat! Akhirnya punyalah kami meja dan kursi hasil padu padan *kayak baju* Hahaha...
Menunya nggak ada yang menarik. Kebanyakan menu yang porsinya harus dimakan segrup. Untung masih ada paket per porsi untuk per orangan. Pilihannya cuma dua: nasi putih plus udang asam manis atau plus cumi asam manis. Kami berdua pesan cumi asam manis.
Dan sori banget kalau saya bilang nggak enak. Nasinya lembek dan cumi asam manisnya ya gitu deh.
Yang saya baca dan dengar. Pantai ini aslinya bernama Pantai Pulang Syawal. Lalu karena ada restoran yang pemiliknya bernama Indrayanti, dan kafenya bernama seperti pemiliknya, akhirnya pantai ini lebih terkenal sebagai Pantai Indrayanti.
Menurut saya, konsepnya sih lumayan, yaitu pantai yang menyediakan kuliner dengan pemandangan laut, entah itu sunset atau sunrise (denger-denger ada jetski juga). Kalau sedang sepi, pantai ini lumayan indah, meski nggak seorisinal pantai-pantai Gunungkidul yang lebih pedalaman. Jenis pantainya memang mirip pantai Kuta. Landai dan pasirnya cukup padat diinjak dengan alas kaki (Pantai Siung pantainya agak susah dipakai jalan, kaki amblas, sebaiknya alas kaki dilepas aja).
Di sepanjang pantai yang tidak terlalu besar ini, berderet saung untuk makan sambil memandang laut lepas. Kalau malam, suasananya lebih bagus lagi. Seperti saya bilang, pemandangan dan suasana yang mengecewakan ini sepertinya karena kami salah timing. Datang saat hari Minggu dan hari libur anak sekolah.
Satu lagi yang saya baca, pantai ini sebenarnya obyek sengketa. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menyatakan pihak swasta membuka pantai ini tanpa izin pemerintah daerah. Bangunan-bangunannya menyalahi sempadan pantai dan izin usaha jetski-nya belum ada.
Bentang pantai selatan Gunungkidul adalah milik Sultan Hamengkubuwono (Sultan Ground), tidak boleh diperjualbelikan. Tetapi pihak swasta membeli tanah itu dari masyarakat yang selama ini diberi izin memakai lahan milik Sultan. Denger-denger sih, pantai ini sejak tahun kemarin diancam ditutup oleh Pemkab. Tapi ini udah pertengahan tahun 2012, kok masih eksis ye? Hayo bapak-bapak, kenapa nih? Hayooo... :))
Ah pokoknya, buat saya pantai ini nggak asyik. Nggak tau ya, kalau menurut orang lain. Saya suka tempat yang sepi dan masih asli, soalnya. Sementara pantai ini berisik dan crowded banget. Satu-satunya hiburan saya selama makan di sini adalah memperhatikan tingkah laku orang-orang. Misalnya nih, ada cewek yang salah kostum. Ke pantai memakai gaun terusan panjang dengan sepatu high heels tujuh senti, rambut ala salon dan make up lengkap. Saya nggak tahu apakah dia baru dari kondangan lalu mampir ke pantai. Tapi kayaknya sih kalau melihat pacarnya dan anggota rombongannya yang berbaju santai, mereka nggak habis kondangan. Dasar aja sok ngartis hehehe..
Jogja, malam ketiga.
Saya mau bercerita tentang pertemuan, yang menurut saya, kalau tidak diceritakan maka akan menghilangkan urutan dalam episode backpacking saya ini. Pertemuan dengan seorang teman dan isterinya, malam setelah saya dan Wuri kembali dari Gunungkidul.
Saya kepingin makan di Raminten. Sebagai orang jauh, tinggal di pegunungan di Jawa Barat, dan pernah tinggal di Jakarta, mendengar Raminten dengan keunikannya yang khas Jawa, saya kepingin tahu. Kalau perlu saya motret-motret supaya bisa diceritakan di blog ini. Tapi... saya dipaksa bertemu di tempat lain. Hanya karena teman saya itu sedang doyan dengan makanan di resto itu.
Sori, saya tidak akan bilang nama kafe itu. Tapi tempat itu sama sekali nggak etnik seperti yang saya mau rasakan di Raminten, atau Djendelo. Itu kafe anak ababil yang memutar lagu-lagu SuJu, SNSD, dan boyband-boyband lokal. Makanannya biasa aja, nggak unik, nggak etnik. Hawker food lokal, Jepang dan bule yang dimodifikasi seperti lazimnya makanan di resto-resto ababil lainnya.
Setelah menunggu lama, akhirnya mereka datang. Dan isterinya agak terkejut ketika saya menyambutnya dengan antusias, memeluk dan cipika-cipiki (saya kan orangnya memang begitu). Ternyata saya aja yang antusias, dianya enggak. Setelah dipikir-pikir belakangan, kayaknya dia emang nggak niat segirang itu ketemu teman baik suaminya. Makanya kaget :D
Saya ini punya sifat jelek (atau baik sih?), yaitu terlalu berekspektasi terlalu tinggi dalam hal pertemanan. Jadinya, ketika faktanya tidak sesuai dengan harapan saya yang indah-indah, saya merasa kayak dikemplang. Plak! Kasian deh lo! :))
Intinya, saya jadi nggak kesampean ke Raminten, dan hari-hari selanjutnya nggak sempat ke sana karena jadwal tujuan padat dan jauh-jauh. Padahal ya, waktu saya ajak mereka ke Raminten, sebenarnya saya udah niat mau traktir. Cuma bercanda aja waktu saya pura-pura minta ditraktir. Waktu jadinya ke kafe ababil itu, saya malas traktir, wong tempatnya aja nggak bagus gitu dan makanannya nggak enak. Lagipula saya pikir, yang maksa saya ke sana yang mau traktir, berhubung dia yang lagi tergila-gila makanan sana. Ternyata enggak tho? :P
Gitu aja ceritanya.
To be continued yo mas, mbak. Kulo pamit rumiyin :))
Ini foto jepretan saya asal-asalan. Males foto karena banyak orang banget. |
Ini Pantai Indrayanti yang lagi sepi. Lupa ngambil dari situs mana. Pemilik foto silakan claim, nanti saya creditkan :) |
5 comments:
Hohoho semoga si suami ga baca ya!
Kmrn minggu aku ke Indrayanti lg, naik ke bukitnya berhubung sama temen cowok jd ga mls naik, krn ada yg jagain dan bersedia bawa backpack kl capek.hehehe
Tapi ga mau lg makan disana. Mending tahan sebentar lapernya makan di Sekar Kusuma.
resto ababil? hmmmm.....jd pengen tauuu.... *kedip2* *kibasrambutyangudahgaadaponinya*
wkwkwkwk...
foto jepretannya bagus mba....hehehehe
@wuri: ah pokoke aku masih penasaran sama raminten! :P
@glo: iya kayaknya cocok tu restonya sama guru alay kayak kamu glo hehehe *ngacir*
wah iya sayang gak ke raminten no... kapan itu gua baca di blog orang, ngomongin raminten, keliatannya seru tuh tempatnya... :)
@arman: itu dia...msh penasaran smp skrg. tar deh klo ke jogja lg :p
Post a Comment