1.
Saya terbangun dari mimpi buruk. Pagi yang hening. Bahkan anak-anak kucing di bawah tangga tak mengeong seperti biasa. Saya sibuk bertanya-tanya, kemana pagi ini akan menuju. Pagi, yang semestinya istimewa ini.
2.
Masih demam. Tetapi harus pergi mencari informasi. Adakah yang terjadi di luar sana? Butuh sedikit petunjuk, pahit sekalipun. Menyeret kaki ke kios koran, nyaris terjatuh. Hati-hati, kata si penjual koran. Dan tak ada apapun yang bisa dijadikan pegangan. Tak ada petunjuk. Saya pulang dengan hati lega, tapi juga hampa.
3.
Sudah ada kabar? Masih demam? Kikie mengirim pesan. Belum, jawab saya. Dan saya masih demam. Saya beranjak menelepon adik saya, Ridwan. Si lembut hati tempat saya menitip gundah. Mau curhat, saya berkata lirih. Ada apa? Suaranya mendadak cemas.
4.
Satu jam percakapan dengan adik saya berlalu. Suaranya membuat saya tenang. Saya lapar dan tak seorang pun ada di rumah. Makan atau tidak? Saya malah meraih buku Black Swan yang dibawakan Kang Yuyus dari Singapura. Mencoba membacanya. Saya malah ketiduran.
5.
Punggung saya bengkak. Saya mengeluh pada Kikie. Cari tukang urut, katanya. Bagaimana saya bisa pergi ke rumahnya di seberang jalan raya itu? Badan saya gemetaran, tubuh saya masih terasa terbakar. Tidak, biar saja. Saya mau tidur. Tetapi saya malah menangis. Bukan, bukan karena tubuh saya sakit. Hati saya yang sakit. Saya merasa dipermainkan. Dibiarkan sendirian. Diberi janji dan selalu diingkari. Saya tidak mau ikut lagi dalam permainan ini.
6.
Saya kasihan padamu. Kikie mengirim pesan malam-malam. Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Saya tahu maksudnya. Saya tidak pernah merasa sesedih ini. Tidak pernah secengeng ini. Saya tidak pernah menangis sehebat ini karena dirinya. Tetapi malam ini pertahanan saya runtuh.
7.
Jam dua dini hari. Demam saya sedikit reda. Saya tahu, pagi ini mereka akan bertanya kenapa mata saya sembab. Benar mereka bertanya. Saya bilang, saya baik-baik saja.
8.
Tidak. Saya tidak baik-baik saja.
Saya terbangun dari mimpi buruk. Pagi yang hening. Bahkan anak-anak kucing di bawah tangga tak mengeong seperti biasa. Saya sibuk bertanya-tanya, kemana pagi ini akan menuju. Pagi, yang semestinya istimewa ini.
2.
Masih demam. Tetapi harus pergi mencari informasi. Adakah yang terjadi di luar sana? Butuh sedikit petunjuk, pahit sekalipun. Menyeret kaki ke kios koran, nyaris terjatuh. Hati-hati, kata si penjual koran. Dan tak ada apapun yang bisa dijadikan pegangan. Tak ada petunjuk. Saya pulang dengan hati lega, tapi juga hampa.
3.
Sudah ada kabar? Masih demam? Kikie mengirim pesan. Belum, jawab saya. Dan saya masih demam. Saya beranjak menelepon adik saya, Ridwan. Si lembut hati tempat saya menitip gundah. Mau curhat, saya berkata lirih. Ada apa? Suaranya mendadak cemas.
4.
Satu jam percakapan dengan adik saya berlalu. Suaranya membuat saya tenang. Saya lapar dan tak seorang pun ada di rumah. Makan atau tidak? Saya malah meraih buku Black Swan yang dibawakan Kang Yuyus dari Singapura. Mencoba membacanya. Saya malah ketiduran.
5.
Punggung saya bengkak. Saya mengeluh pada Kikie. Cari tukang urut, katanya. Bagaimana saya bisa pergi ke rumahnya di seberang jalan raya itu? Badan saya gemetaran, tubuh saya masih terasa terbakar. Tidak, biar saja. Saya mau tidur. Tetapi saya malah menangis. Bukan, bukan karena tubuh saya sakit. Hati saya yang sakit. Saya merasa dipermainkan. Dibiarkan sendirian. Diberi janji dan selalu diingkari. Saya tidak mau ikut lagi dalam permainan ini.
6.
Saya kasihan padamu. Kikie mengirim pesan malam-malam. Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Saya tahu maksudnya. Saya tidak pernah merasa sesedih ini. Tidak pernah secengeng ini. Saya tidak pernah menangis sehebat ini karena dirinya. Tetapi malam ini pertahanan saya runtuh.
7.
Jam dua dini hari. Demam saya sedikit reda. Saya tahu, pagi ini mereka akan bertanya kenapa mata saya sembab. Benar mereka bertanya. Saya bilang, saya baik-baik saja.
8.
Tidak. Saya tidak baik-baik saja.