Sunday, March 2, 2008

The Unforgiven

Jam satu dini hari

"Saya mau bicara sebentar..."
"Ini sudah malam. Saya ngantuk."
"Sebentar saja, please."
"Tentang?"
""Uhmm.. mungkin sebaiknya kita duduk dulu."
"Tidak perlu. Langsung katakan saja sekarang."
"Saya... saya dan Cicih..."
"Ya?"
"Saya dan Cicih akan menikah..."
"Well, itu kan bukan urusan saya!"
"Maksud saya..."
"Kalau cuma mau melaporkan itu, saya rasa pembicaraannya sudah selesai. Cuma itu kan yang mau kamu bilang? Saya harus kembali ke kamar!"
"Tunggu! Tunggu! Saya harus minta maaf padamu. Saya tahu perasaanmu... Saya bukannya tidak mengerti. Ah seandainya saja tidak berakhir seperti ini...."
Perempuan menghampiri Lelaki. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Lelaki yang tergeragap.
"Berani-beraninya kamu menyebut-nyebut perasaan saya! Tahu apa kamu tentang perasaan saya! Kamu sudah menyakiti saya! Mempermainkan saya! Berselingkuh dengan anak babu itu! Persetan dengan kalian!"
Perempuan pergi meninggalkan Lelaki di beranda. Terdengar pintu kamar dibanting keras. Lelaki masih berdiri termangu. Pipinya masih terasa panas bekas tamparan itu.


Hari perkawinan itu

Hari itu Perempuan memakai kebayanya yang terindah. Semua saudaranya mengatakan ia lebih cantik dari mempelai wanita di pelaminan. Namun wajah Perempuan muram dan pucat. Ia tidak mau bergabung di ruangan tempat ijab kabul dilangsungkan.
"Ayo duduk disini!"
"Tidak sudi!"
"Lho, kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa. Tidak penting saja."
"Dasar aneh!"
"Baru tahu kalau saya aneh?"
Ijab kabul berlangsung. Perempuan memilih duduk di undakan tangga menuju lantai atas. Sibuk berbalas pesan pendek dengan kolega. Seolah-olah tidak ada acara sakral di depan mata.


Tiga bulan kemudian

Sebuah pesan pendek masuk ke ponsel Perempuan. Nomor tidak dikenal.
"Saya tahu kamu belum memaafkan saya. Mungkin memang tidak akan pernah. Kesalahan saya padamu memang terlalu besar untuk ditebus sesal. Sejak hari perkawinan saya, ketika saya melihatmu duduk di tangga itu, saya tak lagi bisa tidur nyenyak. Hati saya hancur. Hidup saya tak akan pernah sama lagi..."

Perempuan menghapus pesan itu. Merasa tak perlu membalasnya. Ia sudah tahu siapa pengirimnya. Lelaki yang tak akan pernah ia maafkan seumur hidup. Sepupunya.

3 comments:

Anonymous said...

Gw cuma anak kuliahan, entering keyword "hormoviton" di google soalnya tadi gw minum itu dan dari setengah jam setelahnya hingga saat ini gw ngerasa pusing2. Loh ada yang ngebahas itu di blog?

Sampailah di cerita tentang meracuni Pak Suryo itu. Wakakak, lucu juga. Tab Firefox yang lain membuka artikel yang sama pada link Juli 2006. Baca-baca-baca-baca. Semua post di bulan itu. Yeah, nothin special, moreover, I'm not a blogger.

Tapi dari semua post di bulan itu, setidaknya ada satu hal yang bisa ngasi alasan bahwa blog ini gak mungkin cemen : yang bikin emang kerjanya di bagian tulis-menulis. Muncullah ketertarikan dan curiousity gak penting buat ngeklik Home.

Huh? Kok jadi berbau2 puisi gini? Beda banget ama artikel yang tadi?

Scroll-scroll ke bawah

hingga sampailah ke artikel ini. An****, sumpah bagus banget...

Enno said...

terima kasih ya... hanya imajinasi kecil dari sebuah kisah nyata :)

lea said...

bagusssss......

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...