Tuesday, March 25, 2008

Dejavu

Ia selalu di sana. Kokoh. Hijau. Tidak terlalu tinggi untuk didaki. pepohonan di puncaknya bak siluet, meliuk-liuk diterpa angin. Kabut menyelimutinya pagi hari. Lalu matahari datang, dan sepasang elang menari di atasnya.
Ia selalu di sana. Mengundang siapa saja untuk datang dan berdiri di puncaknya yang damai. Menguak misteri telaga dan air terjun di antara hutan dan belukarnya. Tempat yang indah dan jarang terjamah.
Aku pernah berdiri di sana, bermain di telaganya yang jernih. Dan ketika aku memandangnya yang tampak begitu jelas dari belakang rumah, terbit rinduku untuk kembali ke sana.

Bukit itu tahu aku merindukannya. Itu sebabnya ia selalu memanggil-manggilku untuk kembali menyusuri jalan setapaknya yang menanjak. Menembus pepohonan rapat dan onak duri.
Maka, pergilah aku ke sana. Kepada anak raksasa hijau yang tertawa menantang. Dengan dua orang teman yang membawakan ransel makan siang dan teleskop besar, aku pergi berbekal tongkat. Menghela tubuh lemahku selangkah demi selangkah. Hanya tekad yang membuatku begitu bersemangat.

Dan tampaklah pemandangan terindah dan terdamai di dunia kecilku. Telaga berair terjun yang tengah kupandangi, setelah nyaris satu setengah jam berjalan menembus pepohonan. Peri air terjun itu menyambutku. Berdiri di atas batu telaga. Serupa bayang transparan yang tak mungkin disentuh tangan-tangan fana. Di belakangnya air terjun bak tirai bening. Gemuruh memuntahkan airnya yang dingin ke telaga.

Apa kabar? Tegurnya. Sudah lama tidak melihatmu. Beristirahatlah dulu. Puncak masih setengah jam dari sini.
Pepohonan di sekitarnya menyaring cahaya matahari menjadi bintik-bintik sinar yang turun ke tanah berkarpet humus. Duduk di atas batu, kubiarkan sepasang kaki telanjangku yang letih dipeluk air sejuk.

Tengah hari akhirnya aku berada di puncak bukit itu.
Lalu sebuah ingatan menjadi dejavu ketika aku tiba di punggungnya yang terjal dan licin.
Aku pernah menapaki jalan seperti ini, di suatu masa. Meski tanpa tongkat, ransel dan teleskop. Aku berjalan di belakangmu, mengikuti langkah-langkahmu yang mantap itu.
Meski tak ada pepohonan rapat dan belukar jelatang yang berduri. Hanya ladang-ladang jagung dan padang ilalang tak bertuan yang nyaris kerontang. Dan angin kering membawa aroma tanah berkapur.
Tetapi aku memang pernah mendaki tertatih-tatih seperti ini.
Di sebuah bukit yang lain. Di negeri yang lain. Bersamamu.

4 comments:

Nico Wijaya said...

hehehe...kadang sebuah dejavu itu bisa menjadi bagian yang indah.

Anonymous said...

Waah kembali dirimu sudah, dengan cerita mengenai dejavu, sama kayak postingan baru gue!

seperti biasa kamu, menggambarkan dan mewakili kata2 nya dengan indah!

Jadi, apa kabarmu sekarang? :)

Anonymous said...

hem..
cepetan buat buku dong mbak..
keren ini..

Enno said...

nico: betul sekali nico :)

andrei: hai, I'm fine. Gimana kabar prancis dan cewek2mu? :D

popok: aih, memangnya ada yg mau nerbitin tulisan jelekku?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...