Aku punya sepasang sayap di dalam diriku.
Kamu bisa terbang bersamaku, kalau mau.
Aku punya mimpi indah dalam tidurku.
Dan aku ingin membaginya bersamamu.
Kamu bisa terbang bersamaku, kalau mau.
Aku punya mimpi indah dalam tidurku.
Dan aku ingin membaginya bersamamu.
______________________
Bunga Rumput iri pada Burung Gereja. Pada sayap-sayap mungilnya yang coklat kelabu. Pada paruhnya yang meruncing itu. Pada kaki-kakinya yang langsing. Yang bebas bertengger di ranting-ranting.
Burung Gereja bisa pergi kemana saja. Mengepakkan sayapnya mengejek langit. Terbang meliuk, menggoda matahari. Berkejar-kejaran di arus angin.
Ia hinggap di bahu Pria Hujan. Atau bertengger jumawa di boncengan motor tuanya. Pria Hujan membawanya bertualang. Meninggalkan Bunga Rumput yang akarnya dipeluk tanah. Yang tubuhnya rapuh jika diterjang badai.
“Bolehkah aku ikut denganmu?” Tanya Bunga Rumput pada Pria Hujan, suatu hari. “Izinkan aku ikut bertualang. Aku ingin mengendarai awan. Aku ingin melihatmu turun. Mengisi laut dan sungai-sungai. Menyusup ke pori-pori tanah. Mengalir di lembah gunung, kaki bukit dan gua-gua.”
“Oh, tetapi aku sudah membawa Burung Gereja,” sahut Pria Hujan. “Aku sudah berjanji menunjukkan segalanya kepadanya. Ia ingin mencari selembar ranting emas. Dan aku ingin sekali menolongnya.”
Bahkan Pria Hujan tak menawarinya ikut membantu. Hati Bunga Rumput pun terasa pilu.
“Aku cemburu,” kata Bunga Rumput tanpa tedeng aling-aling.
“Kamu cemburu?”
“Ya. Aku cemburu melihat Burung Gereja selalu ikut denganmu. Kini ia yang selalu kamu bawa serta. Tidakkah aku ini lebih dahulu ada dibanding ia?”
“Kenapa kamu cemburu? Bukankah kamu punya matahari yang biasa bercanda denganmu. Ada langit, teman mengobrol yang asyik. Dan angin yang menemanimu menari.”
“Tetapi mereka bukan dirimu. Mereka tidak bisa memberiku embun yang sejuk. Tidak bisa menyuburkan aku dari kegersangan tanah. Tidak bisa menyirami aku dengan kristal-kristal indah dari angkasa.”
Pria Hujan termangu. Lantas pergi tanpa menoleh lagi. Tampaknya konsep seperti itu asing bagi dirinya. Ia hanya ingin melakukan apa yang diinginkannya. Padahal semestinya ia tahu, Bunga Rumput tak bermaksud membatasinya.
Lambat laun segalanya berubah. Pria Hujan semakin sering menunggang awan. Membuat langit selalu mendung. Menutupi matahari yang ingin menari. Angin tersinggung mengibas marah. Menguarkan udara basah. Badai murka. Segalanya mulai tak tertahankan.
Bunga Rumput merana. Lalu memutuskan pergi. Ia memohon kepada angin untuk mencerabut akarnya dari tanah. Memindahkannya ke sudut sunyi sepetak kebun. Yang kosong dan tak berpenghuni.
Ia di sana. Terasing dari badai semesta. Merunduk layu. Terdiam mengering. Mengenang hotel, pelataran dan sungai rahasia di bukit kapur yang memetakan hatinya kepada Pria Hujan yang ia cintai.
Haruskah cinta meniti jalan airmata agar bisa menguatkan jiwa? Bunga Rumput tahu, cinta tak harus memiliki. Dan cintanya bukan cinta yang egois.
Tetapi mengapa ia merasa mati?
Burung Gereja bisa pergi kemana saja. Mengepakkan sayapnya mengejek langit. Terbang meliuk, menggoda matahari. Berkejar-kejaran di arus angin.
Ia hinggap di bahu Pria Hujan. Atau bertengger jumawa di boncengan motor tuanya. Pria Hujan membawanya bertualang. Meninggalkan Bunga Rumput yang akarnya dipeluk tanah. Yang tubuhnya rapuh jika diterjang badai.
“Bolehkah aku ikut denganmu?” Tanya Bunga Rumput pada Pria Hujan, suatu hari. “Izinkan aku ikut bertualang. Aku ingin mengendarai awan. Aku ingin melihatmu turun. Mengisi laut dan sungai-sungai. Menyusup ke pori-pori tanah. Mengalir di lembah gunung, kaki bukit dan gua-gua.”
“Oh, tetapi aku sudah membawa Burung Gereja,” sahut Pria Hujan. “Aku sudah berjanji menunjukkan segalanya kepadanya. Ia ingin mencari selembar ranting emas. Dan aku ingin sekali menolongnya.”
Bahkan Pria Hujan tak menawarinya ikut membantu. Hati Bunga Rumput pun terasa pilu.
“Aku cemburu,” kata Bunga Rumput tanpa tedeng aling-aling.
“Kamu cemburu?”
“Ya. Aku cemburu melihat Burung Gereja selalu ikut denganmu. Kini ia yang selalu kamu bawa serta. Tidakkah aku ini lebih dahulu ada dibanding ia?”
“Kenapa kamu cemburu? Bukankah kamu punya matahari yang biasa bercanda denganmu. Ada langit, teman mengobrol yang asyik. Dan angin yang menemanimu menari.”
“Tetapi mereka bukan dirimu. Mereka tidak bisa memberiku embun yang sejuk. Tidak bisa menyuburkan aku dari kegersangan tanah. Tidak bisa menyirami aku dengan kristal-kristal indah dari angkasa.”
Pria Hujan termangu. Lantas pergi tanpa menoleh lagi. Tampaknya konsep seperti itu asing bagi dirinya. Ia hanya ingin melakukan apa yang diinginkannya. Padahal semestinya ia tahu, Bunga Rumput tak bermaksud membatasinya.
Lambat laun segalanya berubah. Pria Hujan semakin sering menunggang awan. Membuat langit selalu mendung. Menutupi matahari yang ingin menari. Angin tersinggung mengibas marah. Menguarkan udara basah. Badai murka. Segalanya mulai tak tertahankan.
Bunga Rumput merana. Lalu memutuskan pergi. Ia memohon kepada angin untuk mencerabut akarnya dari tanah. Memindahkannya ke sudut sunyi sepetak kebun. Yang kosong dan tak berpenghuni.
Ia di sana. Terasing dari badai semesta. Merunduk layu. Terdiam mengering. Mengenang hotel, pelataran dan sungai rahasia di bukit kapur yang memetakan hatinya kepada Pria Hujan yang ia cintai.
Haruskah cinta meniti jalan airmata agar bisa menguatkan jiwa? Bunga Rumput tahu, cinta tak harus memiliki. Dan cintanya bukan cinta yang egois.
Tetapi mengapa ia merasa mati?
4 comments:
ehemm....ini cuplikan dari sebuah cerbung yah?? ;)
"Bunga Rumput tahu, cinta tak harus memiliki. Dan cintanya bukan cinta yang egois.
Tetapi mengapa ia merasa mati?"
itu juga yang saya ingin tahu, mengapa ya?
bisakah kau tanyakan pada bunga rumput? :)
fini: bukan cerbung. ini langsung dari hati :)
andrei: belum waktunya membantai diriku, sebelum dirimu kubantai duluan. ayo selesaikan novel itu!
Huhuuh. seharusnya bunga rumput bisa bersahabat dengan burung gereja,
sehingga mereka bisa bersama terbang ikut si Pria hujan..
Ah, sungguh memikat kata-katamu Mbak..
Post a Comment