Suatu hari dia muncul begitu saja di pekarangan rumah. Seekor anjing berbulu lebat putih coklat. Blasteran ras Terrier dan anjing kampung. Umurnya mungkin baru setahun.
Matanya yang coklat lembut mengawasi beranda dengan sabar. Lidahnya terjulur dan ekornya mengibas-ngibas. Kucing-kucing peliharaan Ibu mendesis curiga dari balik jendela, tapi dia bergeming.
Bapak merasa kasihan dan memberinya nasi dan sup di piring plastik. Dia makan dengan lahap dan sejak itu tidak pergi kemana-mana lagi. Anjing yang tersesat itu kemudian menjadi bagian dari keluarga kami. Lalu Bapak memberinya nama Doggy. Kucing-kucing pun akhirnya bersahabat dengannya. Mengajaknya bermain dan tidur di dekat perutnya yang hangat.
Dia menjadi penjaga rumah yang lebih hebat dari satpam manapun di dunia. Selalu memilih tidur tepat di depan pintu. Bergelung nyaman tanpa alas apapun dan telinga tegak yang bergerak-gerak seperti antena radar yang peka.
Ketika itu aku dan adikku masih SD dan tinggal di Cimanggis, Depok. Sekolah kami ada di belakang kompleks tentara tempat kami tinggal. Doggy suka mengikuti kami sampai separuh jalan ke sekolah. Dia juga suka ikut bertualang dengan aku dan anak-anak kompleks. Dulu, Cimanggis belum seramai dan sepadat sekarang. Masih banyak perkampungan asli Betawi dan kebun-kebun sepi. Aku dan teman-teman sering menghabiskan sore bersepeda ke pelosok-pelosok kampung yang jauh, dengan Doggy yang berlari-lari kecil di belakang, seperti pengawal kami.
Doggy juga akan ikut kemanapun aku pergi jalan-jalan, sendiri atau bersama Ibu. Kalau ada cowok-cowok iseng yang bersuit-suit menyebalkan, aku tinggal berseru: “Doggy, serang!”
Doggy akan maju dan menggeram sambil memamerkan gigi-giginya yang tajam. Kesannya seperti akan menyerang, padahal sebenarnya dia cuma berpura-pura.
Setelah aku SMP, Doggy punya kebiasaan menungguku pulang sekolah di gerbang kompleks. Dia akan melompat-lompat kegirangan sambil mengangkat kedua kaki depannya begitu melihatku turun dari angkot. Lalu berlari-lari di belakangku sambil mendengking-dengking. Kadang-kadang aku iseng mengajak dia balap lari sampai ke rumah. Dia selalu menang tentu saja.
Doggy mulai sakit-sakitan setelah aku SMA. Kerjanya cuma tidur di beranda, meskipun tak pernah absen menjemputku pulang sekolah di gerbang kompleks. Kadang-kadang dia menghilang selama dua hari, lalu pulang dengan bulu kotor. Kalau sudah begitu Ibu akan mengomelinya, “Doggy, darimana sih? Lihat tuh bulunya kotor. Dasar jorok!”
Doggy balas menatap Ibu sambil mendengking manja dan mengibaskan ekornya. Ibu tertawa dan melemparinya makanan yang dengan gembira langsung disambarnya.
Suatu hari, waktu aku kelas tiga SMA, Doggy tidak pulang berhari-hari. Lalu seorang tetangga memberi kabar, Doggy ditemukan tergeletak mati di pinggir jalan, tidak jauh dari kompleks kami. Adikku pergi ke sana untuk memastikan, dan ternyata memang benar itu Doggy kami. Mungkin dia bermaksud menyeberang jalan, untuk pulang ke rumah setelah bertualang. Tetapi karena dia sudah tua dan sedang sakit, dia tidak segesit dulu. Dan sebuah kendaraan menabraknya sampai mati.
Akhirnya kami memutuskan melarungkan Doggy ke kali yang mengalir di depan kompleks kami. Terlalu sedih menguburnya di halaman belakang karena pasti kami akan terkenang terus.
Hari itu aku tidak menangis. Cuma Bapak (yang rajin mengajaknya ngobrol) dan Ibu (yang suka mengomeli kalau terasnya dikotori) yang berkeluh kesah karena merasa kehilangan. Adikku memang tidak terlalu menyukai anjing. Sementara aku sendiri terlalu sedih untuk mengaku sedih.
Belakangan, setelah bertahun-tahun kemudian, aku baru bisa meneteskan air mata kalau ingat Doggy. Kenangan masa kecilku tidak akan pernah lengkap tanpa anjing kami, Doggy.
-Ditulis untuk mengenang pengawal masa kecil yang setia, Doggy-
No comments:
Post a Comment