Friday, October 19, 2007

Kang, Anak-anak Gimana Naiknya?



Suasana mudik di Terminal Lebak Bulus



Mudik tahun ini bener-bener pengalaman yang beda sama mudik tahun kemaren yang relatif lancar. Perjalanan Jakarta-Garut yang biasanya 4-5 jam, jadi 12 jam karena macet di Nagreg. Itupun gue mesti ke Bandung dulu trus nyambung ke Garut, karena ogah berebutan bus jurusan ke Garut di Lebak Bulus. Alhasil, ongkos pulang kampung juga jadi lebih ribet dan lebih mahal, meskipun gue tetep harus bersyukur karena masih lebih murah dibanding ongkos orang yang mudik ke luar Jawa.

Gue sampe di terminal Lebak Bulus jam enam pagi dan terpana begitu melihat calon penumpang ke Garut, Tasik dan sekitarnya udah numpuk di sana entah dari jam berapa. Semua orang di sekeliling gue bercakap-cakap secara dwi bahasa: Sunda-Indonesia. Mereka menenteng bawaan masing-masing. Ada yang bawa isteri, bawa suami, bawa anak-anak, bawa pacar, bawa ransel, bawa kardus…

Tak dinyana, bus Garut dan Tasik datengnya telat karena macet. Bayangin aja, udah nunggunya lama, sekalinya dateng langsung berebutan. Ketika sebuah bus masuk terminal, seratus orang lebih langsung kayak kesurupan. Berlomba-lomba memburu pintu bus depan dan belakang. Meloncat naik seraya menitip pesan, amanat dan wasiat kepada teman seperjalanan untuk siap melemparkan barang bawaan ke dalam bus begitu dia sudah mendapat tempat.

Tungguan di handap! Siapkeun tas lamun geus beunang korsi![1]
Buru geura asup! Itu aya nu kosong![2]
“Aduh, sabar atuh!”
Punten, tas abdi ulah ditincak! Aduh, sendal abdi kalah murag![3]
Aa! Hese lebetna… Pinuh kieu. Kumaha atuh…?[4]
Enggalkeun. Engke nungguan deui mah bisi siang teuing![5]

Alhasil gue cuma jadi pengamat kehebohan itu. Asik juga ternyata. Soalnya banyak kejadian konyol, kocak bahkan juga mengharukan.
Misalnya, seorang bapak yang akan mudik bersama isteri dan empat anaknya. Tiga orang masih balita, seorang lagi masih bayi digendongan isterinya. Bersama mereka, turut serta dua travel bag besar dan dua kardus bekas indomie yang diikat tali rafia.
Si bapak masuk duluan ke dalam bus untuk mencari tempat duduk. Rupanya dia berhasil mendapatkannya. Lalu kepalanya terjulur keluar jendela. Tangannya melambai-lambai kepada isterinya yang berdiri berjajar dengan anak-anaknya di luar bus.

Mamah! Ieu aya korsi! Geura kadieu![6]
Si isteri tak bereaksi.
Mamah, enggalkeun! Bisi kaburu ku batur![7]” Si bapak berteriak lebih kencang.
Si isteri menghentakkan kaki dan balas berteriak tak kalah kencang.
“Gimana sih, Kang! Ini anak-anak gimana? Barang-barang gimana? Belum ada yang masukin ke bagasi. Gogorowokan didinya, ari barudak kumaha naekna![8]

Gue nyengir melihat adegan itu. Si bapak saking semangatnya nyari kursi, lupa kalo anggota keluarganya harus dibantu untuk naik ke bus. Belum lagi barang-barangnya harus dimasukin bagasi juga. Nah lho!
Akhirnya dengan wajah lesu, si bapak turun lagi dan merelakan kursi hasil buruannya diambil orang.
Kasian ih. Sumpah!

Belajar dari kejadian itu, gue langsung puter otak cari strategi juga. Akhirnya, gue mutusin untuk ke Bandung dulu. Apalagi ada bus jurusan Bandung yang gak diperebutin orang. Bus apakah itu? Ternyata bus kelas eksekutif! Ya sudahlah, dari Bandung pasti banyak bus ke Garut dan yang jelas orang Garut yang ada di Bandung gak bakal seganas orang Garut di Jakarta dalam berebutan bus mudik.

Pokoknya mah harus sampe ke kampung halaman. Jaman mau lebaran gini… kalo harus naik rakit juga, ya nggak apa-apa kayaknya.
_______________________________________________________
[1] Tunggu di bawah! Siapin tas kalo udah dapet kursi!
[2] Cepet masuk! Itu ada yang kosong!
[3] Maaf, tas saya jangan diinjak! Aduh, sendal saya malah jatuh!
[4] Kakak! Susah masuknya… Penuh gini. Gimana dong?
[5] Cepetan. Nanti kalo nunggu lagi bisa keburu siang!
[6] Mama, di sini ada kursi. Cepat kesini!
[7] Mama, cepat! Nanti keburu diambil orang!
[8] Teriak-teriak di situ! Anak-anak bagaimana naiknya!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...