Wednesday, January 15, 2014

Ke Swissnya Jawa Paling Selatan

"Oy, Mang Ujang! Numpang lewat, Mang!"
"Emang namanya Ujang? Om kenal sama orang tadi?"
"Enggak."
"Heh? Trus kok negur?"
"Biar akrab ajah. Lagian orang kampung mah nggak jauh dari nama Ujang, Asep, Agus, Entis..."
"Jiaaah..."

Perjalanan saya mblusukan Garut Selatan lumayan menyenangkan. Kami berangkat berempat, termasuk Om Sopir (nggak usah sebut nama lah ya), yang kebetulan adalah mantan sopir tante saya, dan kebetulan lagi orangnya bodor banget. Perjalanan dimulai langsung melintasi rute Cikajang ke arah Pameungpeuk, di bagian selatan Garut. Kondisi jalan menembus pegunungan dan perkebunan bekas pengusaha Perancis (di zaman Belanda), yang kini diambil alih PTP Nusantara. Jalannya beraspal dan mulus, namun penuh kelokan tajam. Seolah belum cukup bikin mabuk dan lemas dengkul, itu jalanan masih pula diapit tebing dan jurang ratusan meter yang rawan longsor di musim hujan seperti ini.

Empat tahun lalu, saya pernah ikut tim Depsos meninjau lokasi bencana longsor di daerah Talegong, kawasan dataran tinggi yang sama. Mengerikan sekali melihat rumah-rumah yang lenyap di balik timbunan tanah merah yang menderu dari atas bukit, jalanan yang terbelah seperti kue ulang tahun dan jurang yang melebar belasan meter, memakan jalan beraspal menjadi hanya bisa dilalui sebuah sepeda motor satu arah.

Karena itu, kemarin saya lumayan waswas. Daerah pegunungan di Garut Selatan tak pernah bisa diprediksi di musim hujan. Longsor bisa datang kapan saja, bahkan ketika hujan sedang berhenti sekalipun. Untungnya, perjalanan lancar. Kami selamat sampai di rumah sepupu saya, di Jalan Cilaut Eureun, Pameungpeuk. Meskipuuun... di tengah perjalanan diwarnai dengan acara mabuk darat.

By the way, sepupu saya baru saja ditugaskan di rumah sakit pemerintah di sana. Dia dokter. Jadi, sekarang lumayan banget saya punya tempat menginap kalau jalan-jalan ke Garut Selatan. Plus, kalau nggak enak badan habis mabuk darat, bisa minta diobatin. Hahaha.

Rumah sepupu saya dekat dengan Pantai Santolo. kami makan siang seafood di salah satu rumah makan langganan keluarga. Sayangnya gerimis datang ketika kami mau bermain di pantai. Sunset yang saya dapat tidak sempurna. Hanya semburat kuning yang muncul sebentar sebelum tertutup awan. Tapi itu pun sudah lumayan, meskipun bikin semangat eksplor jadi turun. Padahal saya kepengin nyeberang ke Pulau Santolo dengan perahu nelayan, dan memotret dermaga kuno peninggalan Belanda yang ada di sana. Mungkin lain kali. Toh, rumah sepupu saya selalu terbuka untuk menampung hehe...

Esoknya, subuh-subuh, saya sudah ribut sendiri. Rumah tetangga sepupu saya yang berprofesi tukang ojek digedor untuk mengantar saya ke Pantai Sayang Heulang, memotret sunrise.
Orang-orang kampung di Garut Selatan terbukti lebih ramah dan baik hati daripada orang-orang di kampung saya yang mata duitan. Si bapak ojek dengan senang hati ngebut ke Sayang Heulang demi mengejar sunrise. Dan Allah Maha Baik. Matahari terbangun dengan indah di depan mata saya, dan para pemburu sunrise lainnya di pantai itu. Iya, bukan cuma saya yang menunggu sunrise di sana. Ada beberapa pemuda duduk di atas karang-karang yang terendam air pasang. Begitu matahari muncul, mereka bersorak dan sibuk berfoto dengan latar matahari terbit. Motivasi mereka buat narsis sih ya. Beda dengan saya hehe...

Karena hari sudah terang, saya baru menyadari bahwa jalan menuju Sayang Heulang ternyata indah banget. Menghijau oleh pepohonan dan persawahan. Sejuk sekali mata saya. Baru deh, saya ngajak ngobrol si bapak ojek. Waktu berangkatnya sih diam, karena lagi degdegan nggak dapat sunrise.

"Pemandangannya bagus banget ya, Pak."
"Iya, Neng. Beda sama kota. Eneng teh sodaranya Dokter Lukman? Orang mana, Neng?"
"Saya orang Jakarta." Jangan salahkan saya kalau saya jawab begitu. Memang saya orang Jakarta. Kadang ada tuh orang-orang yang mengira saya jawab begitu biar dianggap keren. Lho? Nggak harus jadi anak Jakarta kalau mau dianggap keren, kali!
"Oh, pantesan pakai bahasa Indonesia."
Yah. Lagi malas pakai bahasa Sunda aja sih, Pak. Mikir buat translate-nya capek.

Begitu saya sampai rumah lagi, sarapan sudah tersedia. Setelah makan, kami berempat meninggalkan rumah sepupu saya untuk melanjutkan mblusukan. Kali ini, kami meminta Om Sopir mengarahkan mobil ke rute yang menuju Tasikmalaya, melalui daerah Sancang, Kecamatan Cibalong.

"Nanti, kalau udah di daerah Sancang, nggak boleh ada yang nyebut maung atau harimau, ya." kata si Om.
"Emang kenapa?" Saya pura-pura nggak ngerti. "Bakal muncul harimau gitu, ya?"
"Iyah. Makanya, nggak usah nyebut-nyebut itu, Mbak."
"Wah malah bikin penasaran. Jarang-jarang kan lihat harimau."
"Duh, si Embak mah suka nyengajain sih orangnya..." Om Sopir ngeluh, putus asa. Hahaha.

Mobil kami sudah menembus jalan lintas propinsi yang ke arah perbatasan Garut-Tasikmalaya. You know what, daerah Sancang itu ternyata keren banget! Saya kepengin teriak-teriak senang rasanya. Jalanannya meliuk-liuk, masih bikin mabuk. Tetapi kali ini, kami tidak mabuk karena disuguhi pemandangan indah di kiri kanan jalan. Kami melintasi jembatan, yang di bawahnya mengalir sungai yang melewati hutan nun jauh di sana. Kami juga melewati perkebunan karet Mira Mare milik PTP Nusantara VIII. Sinar matahari berkilauan menembus sela-sela daun dan dahan karet. Rumputnya hijau seperti permadani, dan ada banyak sapi-sapi sedang santai memamah biak.

Rencananya, kami akan mampir istirahat di rumah kenalan si Om Sopir di sekitar kawasan Mira Mare. Tetapi ternyata, orangnya sudah pindah ke desa Karang Paranje. Kami berputar balik arah. Ajakan saya mampir ke Hutan Sancang dulu, tiada yang menggubris. Pasti takut.

"Takut maung?" Tanya saya sengaja.
Semuanya mendesis mendengar saya mengucapkan dia-yang-tidak-boleh-disebut-namanya itu. Buat yang belum tahu sejarah Hutan Sancang, marilah saya kasih tahu legenda penduduk Garut dan Jawa Barat umumnya. Bahwa hutan lindung bertaraf internasional ini konon tempat menghilangnya Prabu Siliwangi dan para pengikutnya. Menurut legenda, sang Prabu berubah menjadi harimau putih, sementara para pengikutnya menjadi harimau loreng dan sebagian lagi menjadi pohon kayu Kaboa.

Jadi begitulah.
Dalam perjalanan menuju Karang Paranje, kami mampir di Pantai Cijeruk Indah. Tidak seberapa bagus, karena ini pantai muara. Banyak sekali rerimbunan mangrove di sini. Bahkan, menuju pantainya pun, kita harus melalui lorong tanaman bakau.
Di pantai ini ada kejadian tidak enak, yang malas saya ceritakan. Sudah diceritakan di Instagram saya, sih. Jadi, mari kita tinggalkan Cijeruk Indah yang tidak indah menurut saya.

Nah, ternyata....
Saya yang sok berani sama harimau Sancang, malah ketakutan beneran di Karang Paranje. Tempat ini adalah sebuah desa di pinggir pantai yang penuh dengan karang-karang setinggi rumah. Teman si Om berhasil kami temukan, dan kebetulannya rumahnya hanya selemparan batu dari jembatan menuju pantai. Kami dipersilakan kalau hendak main di pantai.

Sambil mengangguk-angguk, saya mengiyakan tawaran main ke pantai. Tapi kok perasaan saya nggak enak? Saya pernah dengar, asal mula nama Karang Paranje ini karena suka ada suara ayam berkokok dari arah karang-karang besar di pantai ini, konon jika bakal terjadi musibah. Itu sebabnya disebut paranje yang artinya kandang ayam.

Karena perasaan saya nggak enak, saya cuma sebentar di pantai ini. Selebihnya menunggu di dalam mobil. Tumben ya, saya takut. Masalahnya, hawa yang saya rasakan itu hawa jahat, cyiiin.
Negatif banget. Pekat. Bikin saya sesak napas. Mirip seperti waktu saya ke ruangan paling atas di Lawang Sewu.

Belakangan, sepulang dari perjalanan, saya dapat informasi, kalau di pantai ini banyak orang bertapa untuk minta nomor togel. Pantaslah. Mahluk halus yang dimintai tolong manusia biasanya jadi belagu, karena merasa dibutuhkan. Padahal, mereka tahu manusia lebih mulia derajatnya. Gimana nggak ge-er, coba?

Jadilah di Karang Paranje kami cuma sebentar, karena saya yang biasanya bikin lama (motret dan mondar-mandir nggak jelas), malah menunjukkan gelagat nggak betah.

Dari Kecamatan Cibalong, kami pindah ke Kecamatan Caringin. Rencananya mau sholat Zuhur dan makan siang di pantai Rancabuaya. Tetapi di pertengahan jalan, mobil kami dihadang onggokan truk yang terperosok di jalan tanjakan berlumpur. Hidung truk terbenam sepenuhnya di dalam lumpur. Gila! Untungnya, ada lho yang nunjukin jalan alternatif. Jalannya ternyata melewati rumah-rumah penduduk yang benar-benar asli, masih panggung dari papan dan kayu. Wah, ini sih namanya beneran mblusukan! Keren!

Sampai di Rancabuaya, kami sholat dan makan siang dengan seafood lagi. Setelah itu, kami beranjak ke Kecamatan Mekar Mukti untuk mengunjungi pantai Cicalobak.
Nggak nyesel ke pantai ini. Pantai teluk dengan karang-karang datar berlubang-lubang seperti kulit spons. Saya bahkan berfoto narsis di sini. Soalnya view-nya bagus hehe.

Sehabis dari Cicalobak, kami pulang. Mengambil rute Kecamatan Bungbulang. Si Om Sopir sengaja tuh. Dia nggak mau lewat kawasan Gunung Gelap di Kecamatan Cisompet, yang selalu berkabut setiap hari. Kabut di sana tebalnya bikin jarak pandang cuma satu meter. Kadang-kadang setengah meter.

"Kita lewat Gunung Wayang aja daripada Gunung Gelap."
Semua terkesiap.
"Kira-kira, jam berapa kita lewat Gunung Wayangnya?"
"Masih sore, masih terang."
"Yakin, Om? Ciyus? Sumpeh?"
"Yakiiin. Deket kok dari sini."
Para cewek degdegan. Padahal lewat Gunung Gelap juga sama seramnya sih sama Gunung Wayang, karena dulu kawasan itu tempat membuang mayat para preman saat pemerintahan Soeharto.

Tapi tetep sereman Gunung Wayang.
Yang disebut Gunung Wayang adalah sebuah bukit batu granit hitam. Mirip batok kelapa yang ditelungkupkan. Dindingnya yang hitam legam dan licin itu menjadi sisi tebing jalan yang dilewati mobil. Itu kawasan yang sunyi dan ada di tengah hutan dan persawahan. Disebut Gunung Wayang, karena jika kita lewat situ malam-malam, suka terdengar suara gamelan wayang sayup-sayup dari arah bukit batu itu. Banyak kisah horor diceritakan orang-orang yang pernah melewati kawasan ini malam-malam. Bahkan, Kapolsek setempat mobilnya pernah ditumpangi hantu! Hahaha.

Kami melewati Gunung Wayang dengan selamat tentunya. Karena masih sore dan terang benderang. Si Om menawari saya berhenti untuk memotret si gunung. Saya menggeleng kuat-kuat. Aura di tempat itu juga nggak enak. Nanti kalau ada yang ikut terfoto gimana? Apalagi, di bawah sebuah pohon yang kami lewati saya melihat sosok perempuan. Dia pakai payung merah di sore nan teduh tak berhujan, cobaaa...

"Kalo nama umum cewek desa Jawa Barat apa ya, Om?"
"Eneng, Euis, Kokom, Popon... Banyak."
"Oh, oke." Saya melambai keluar jendela. "Permisi, ngiring ngalangkung (numpang lewat), Teh Euis!"
"Teh Euis siapa?" Yang lain bertanya sambil nengok keluar.
"Yang tadi di pinggir jalan."
"Nggak ada siapa-siapa dari tadi."
"Oh, masa sih? Oke deh." Saya mingkem. Sementara yang lain jadi galau. Hahaha.

..............................

Rombongan kami tiba di kota jam sembilan malam. Dalam kegelapan hutan, tebing dan jurang, mobil kami merayap menuruni pegunungan selatan Swiss van Java. Bayangkan serunya! :)


Sunrise di Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan.
pict by me.



Image and video hosting by TinyPic

20 comments:

TS Frima said...

tau gak apa yang jahat dari posting ini?
You tell so much, tap fotonya cuma satu! It sounds so cool, btw :)
Kalau fotonya lebih banyak pasti keren. Penasaran seperti apa sih tempat-tempat indah yang agak mistis itu :)

Arman said...

kirain yang di karang paranje lu bakal liat2 penampakan apa gitu... :P

duh dari nama2nya aja pada serem2 ya no... tapi penasaran liat view2nya. kenapa potonya cuma 1 sih? :P

Enno said...

@Rian: hahaha...soriii.. foto2 nya udah dipost semua di Instagramku sih. Klo dipost semua disini, tar ada yg copas. Itu pun IG ku jg dikunci biar aman. Next time deh ya. Belum sempat nambahin watermark soalnya. Googling aja dulu :p

Enno said...

@Arman: klo gw cerita detail soal penampakan, entar blog gw berubah jd blog mistis dong man hehe... iye iye foto nyusul deh. Rempong deadline ni, ga sempet ngedit pake watermark :p

Apisindica said...

arghhhh tulisan ini bikin kangen. 3 tahun punya project di pameungpeuk bikin banyak keleluasaan buat menjelajah pantai2 yang bagus itu. Berulang kali ngelewatin gunung gelap, sampai pernah ban mobil ngegelinding ngeduluin mobilnya di daerah itu saat hujan besar.

Sekali waktu pernah dipaksa nginep di rumah sinder kebun PTPN 8 di daerah cisompet, dan malemnya nggak bisa tidur karena berulang kali mendengar suara harimau dan ramai orang baris berbaris. Kata orang mereka kasat mata. Teu sieun kumaha coba aiiiiing. hehehe.

Waktu kuliah pernah camping di leuweung sancang, alesannya karena si pacar dulu penelitiannya mangrove sih. Jadi "terpaksa" nemenin.

eh maaf, komennya kok kepanjangan. punten paralaun karuhuuuuun! :))

obat penyakit gula said...

terimakasih atas informasinya gan sukses selalu

obat gula darah said...

terimakasih atas informasinya

M. Faizi said...

Mana foto pantai Cicalobak-nya? Saya baru dengar nama itu.
Eh, baik ke Swiss maupun ke area Garut selatan, saya belum pernah sampai. Apa kira-kira unsur yang menyamakan keduanya?

Enno said...

@apis: keren kan yaaa hehe... waduh ke hutan sancang masih penasaran euy! Bkn mau liat maung. Tp liat pohon kaboa yg cm ada di sana. Itu jenis pohon purba kan ya? Itu beneran dgr suara maung? Hiiiy

@faizi: wah mas faizi komen! Pa kbr? Foto cicalobaknya nyusul ya. Eh kesamaan swiss sm garut? Mountain view kali ya. Swiss kn jg dikelilingi pegunungan. Garut kn swiss van java kt org belande hehe

M. Faizi said...

Iya, Enno. lama sekali saya tidak berkomentar, tapi itu bukan berarti saya tidak mengintai perkembangan tulisan-tulisan di blog keren ini
:-)

Saya suka cerita atau catatan perjalanan, ya, seperti ini di antaranya

Enno said...

Duhh tp mas faizi gak baca tulisan yg galau2nya kan? Ayo bilang enggak! Maluuu hehe...

M. Faizi said...

Hahaha, ya, cuma sepintas-sepintas...

Enno said...

Jiaah ya brarti baca namanya hehehe

Apisindica said...

pohon kaboa itu pohon endemik leuweungsancang. pohon yang hanya hidup di sancang saja. disebut juga pohon mistik karena berbagai macam cerita turun temurun.

mungkin juga salah satu kearifan lokal agar pohon langka tersebut tidak terlalu dieksploitasi sehingga tetap masih bisa dilestarikan.

Unknown said...

wah ada updatenya lg.. selalu senang baca report perjalanan enno,, banyak adegan serunya hehehhe
sudah lama ngikutin blog ini tapi bru mulai berani koment2 nich..:)

Enno said...

@apisindica: iya mistik pisan tah kaboa teh cenah. Pernah ada cerita, org ngambil dahannya buat tongkat. Eh dihantui spy balikin lg tu dahan ke hutan sancang. Sereeem!

@rhey: kenapa atuh baru komen sekarang? Hehe makasih ya suka main ke sini ^^

Hans Febrian said...

ayooooo! foto-fotonya mana
*nagih beneran*

nb: gue bukan anak jakarta haha :p

Enno said...

@hans: maksud looo? Lo bukan anak jkt tp keren, gtu? Cih! :))

Hans Febrian said...

:P :P :P

Hans Febrian said...

:P :P :P

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...