J untuk Jeruk
menandai pertemanan yang tersuruk
--------
Jeruk itu masih ada di atas dispenser saya. Oranye. Tergeletak sendirian sejak tiga hari yang lalu. Kulitnya mulai mengisut karena terbias cahaya matahari dari jendela. Saya membiarkannya selalu di situ. Tidak menyentuhnya apalagi memakannya. Melihatnya setiap pagi di atas dispenser itu mengingatkan saya pada sebuah kesadaran bahwa tidak selamanya rasa persahabatan yang saya berikan mendapat balasan.
Seorang teman memberikan jeruk itu. Menyodorkannya begitu saja suatu sore ketika pulang kerja. Pagi sebelumnya ia sudah sibuk bangun paling awal dan tampak repot. Hari itu ulangtahunnya. Kami mengucapkan selamat ulangtahun, saya memberinya kado kecil dan ia menangis dalam pelukan saya. Kenapa? Karena seseorang yang dicintainya memberinya kado terburuk hari itu. Seorang laki-laki mempermainkan dirinya. Mengatakan cinta padanya, padahal ia sudah berkeluarga.
Ia memutuskan menjauhi pecundang itu, meski masih saja terus diburu dan dikejar melalui telpon dan pesan pendek. Berhari-hari ia menangis, lalu mencari saran pada saya. Apa yang bisa saya lakukan selain memeluknya dan membiarkannya membasahi bantal saya dengan airmata? Apa yang bisa saya lakukan selain menawarkan bahu saya untuk menangis?
Pagi itu dia akhirnya tersenyum setelah puas menangis dan berseru akan merayakan ulangtahun dengan teman-temannya. Ia mau traktir makan-makan. Meluncurlah rencana dan segenap cerita dari mulutnya. Ada kantong besar di tangannya berisi buah-buahan untuk dibawa ke kantornya. Ia bahkan meminjam tas besar dari teman yang lain. Ia bilang sudah memesan makanan dari sebuah restoran. Lalu ia pamit berangkat kerja duluan.
Sore itu, ia pulang dengan senyum lebar dan beberapa kado di tangan. Mengembalikan tas pada pemiliknya dan memberi kami masing-masing sebuah jeruk. Barangkali sisa pesta, atau ia sengaja menyisihkannya buat kami.
Terus terang, tadinya saya berpikir ia akan mengajak kami merayakan ulangtahun bersamanya juga. Ya, tentu saja. Kami merayakannya dengan sebuah jeruk itu.
Malam itu saya belajar lagi tentang sesuatu. Bahwa tak selamanya seseorang akan setulus kita saat berteman. Barangkali ada yang memikirkan untung rugi. Barangkali ada yang hanya basa basi. Barangkali ada yang cuma ingin diberi (tetapi tidak mau memberi).
"Kan elu yang memberi saran ke dia supaya bersenang-senang sama teman-teman biar lupa sama patah hatinya," celetuk Kiki, sahabat saya di kantor ketika saya ceritai.
"Memang. Dan gue tulus waktu ngomong gitu."
"Ya udah. Dia udah memilih dengan siapa dia bersenang-senang."
"Ya, terus lu pikir gue kecewa karena nggak ikut ditraktir? Lu salah. Gue bisa beli makanan sendiri. Tetapi gue kecewa karena tampaknya dia nggak menganggap gue dan teman-teman di rumah cukup berharga untuk menjadi temannya."
Teman saya banyak tentu saja. Apalah artinya tidak dianggap berharga untuk menjadi teman oleh satu orang saja. Tetapi rasanya tetap saja kecewa. Barangkali itu memang kelemahan saya. Seringkali punya ekspektasi terlalu tinggi untuk bisa berteman dengan semua orang. Ah, siapalah saya ini?
Barangkali saya dan teman-teman satu rumah memang tidak cukup berharga untuknya. Meskipun waktu ia sakit saya ikut merawatnya. Meskipun ketika ia butuh pendengar, saya menaruh buku yang saya baca dan meluangkan waktu mendengarkan curhatnya. Meskipun ketika saya sedang lelah, saya biarkan ia di kamar saya dan menceritakan apapun yang ia mau sampai bosan.
Saya kok jadi perhitungan ya? Ah, sudahlah. Sesungguhnya saya ikhlas kok. Saya cuma sedikit kecewa karena perasaan yang tak berbalas. Boleh kan?
menandai pertemanan yang tersuruk
--------
Jeruk itu masih ada di atas dispenser saya. Oranye. Tergeletak sendirian sejak tiga hari yang lalu. Kulitnya mulai mengisut karena terbias cahaya matahari dari jendela. Saya membiarkannya selalu di situ. Tidak menyentuhnya apalagi memakannya. Melihatnya setiap pagi di atas dispenser itu mengingatkan saya pada sebuah kesadaran bahwa tidak selamanya rasa persahabatan yang saya berikan mendapat balasan.
Seorang teman memberikan jeruk itu. Menyodorkannya begitu saja suatu sore ketika pulang kerja. Pagi sebelumnya ia sudah sibuk bangun paling awal dan tampak repot. Hari itu ulangtahunnya. Kami mengucapkan selamat ulangtahun, saya memberinya kado kecil dan ia menangis dalam pelukan saya. Kenapa? Karena seseorang yang dicintainya memberinya kado terburuk hari itu. Seorang laki-laki mempermainkan dirinya. Mengatakan cinta padanya, padahal ia sudah berkeluarga.
Ia memutuskan menjauhi pecundang itu, meski masih saja terus diburu dan dikejar melalui telpon dan pesan pendek. Berhari-hari ia menangis, lalu mencari saran pada saya. Apa yang bisa saya lakukan selain memeluknya dan membiarkannya membasahi bantal saya dengan airmata? Apa yang bisa saya lakukan selain menawarkan bahu saya untuk menangis?
Pagi itu dia akhirnya tersenyum setelah puas menangis dan berseru akan merayakan ulangtahun dengan teman-temannya. Ia mau traktir makan-makan. Meluncurlah rencana dan segenap cerita dari mulutnya. Ada kantong besar di tangannya berisi buah-buahan untuk dibawa ke kantornya. Ia bahkan meminjam tas besar dari teman yang lain. Ia bilang sudah memesan makanan dari sebuah restoran. Lalu ia pamit berangkat kerja duluan.
Sore itu, ia pulang dengan senyum lebar dan beberapa kado di tangan. Mengembalikan tas pada pemiliknya dan memberi kami masing-masing sebuah jeruk. Barangkali sisa pesta, atau ia sengaja menyisihkannya buat kami.
Terus terang, tadinya saya berpikir ia akan mengajak kami merayakan ulangtahun bersamanya juga. Ya, tentu saja. Kami merayakannya dengan sebuah jeruk itu.
Malam itu saya belajar lagi tentang sesuatu. Bahwa tak selamanya seseorang akan setulus kita saat berteman. Barangkali ada yang memikirkan untung rugi. Barangkali ada yang hanya basa basi. Barangkali ada yang cuma ingin diberi (tetapi tidak mau memberi).
"Kan elu yang memberi saran ke dia supaya bersenang-senang sama teman-teman biar lupa sama patah hatinya," celetuk Kiki, sahabat saya di kantor ketika saya ceritai.
"Memang. Dan gue tulus waktu ngomong gitu."
"Ya udah. Dia udah memilih dengan siapa dia bersenang-senang."
"Ya, terus lu pikir gue kecewa karena nggak ikut ditraktir? Lu salah. Gue bisa beli makanan sendiri. Tetapi gue kecewa karena tampaknya dia nggak menganggap gue dan teman-teman di rumah cukup berharga untuk menjadi temannya."
Teman saya banyak tentu saja. Apalah artinya tidak dianggap berharga untuk menjadi teman oleh satu orang saja. Tetapi rasanya tetap saja kecewa. Barangkali itu memang kelemahan saya. Seringkali punya ekspektasi terlalu tinggi untuk bisa berteman dengan semua orang. Ah, siapalah saya ini?
Barangkali saya dan teman-teman satu rumah memang tidak cukup berharga untuknya. Meskipun waktu ia sakit saya ikut merawatnya. Meskipun ketika ia butuh pendengar, saya menaruh buku yang saya baca dan meluangkan waktu mendengarkan curhatnya. Meskipun ketika saya sedang lelah, saya biarkan ia di kamar saya dan menceritakan apapun yang ia mau sampai bosan.
Saya kok jadi perhitungan ya? Ah, sudahlah. Sesungguhnya saya ikhlas kok. Saya cuma sedikit kecewa karena perasaan yang tak berbalas. Boleh kan?
16 comments:
kalo seorang teman masih menghitung untung dan ruginya berteman dgn kita, tu bukan teman sejati kok.. Swear...
yup, kadang kita memang suka jadi itungan seperti itu, tapi justru pada saat seperti itulah kita harus melihat ke diri kita sendiri...
mengapa jadi tersinggung?
Jangan2 kita juga seperti dia, atau pernah menjadi seperti dia...
:)that's what I do, klo ada sesuatu yang menyinggung diri saya, langsung liatnya ke dalam dulu, bukan keluar :D
Karna jawabannya selalu ada di dalam :)
Kpn mo ujan2an, Mba?:p
sedikit kuciwa hmm...boleh.. boleh..boleh koq, tapi lain kali jeyuknya dimaem ya sayang kan menyianyiakan makanan, biar satu buah teuteup aja itu makanan ndak boleh di sia-siakan begitu saja banyak yang lebih membutuhkan di luar sana...
@ifoel: ya betul :)
@mungil: yuk, hujan-hujanan dimana kita? sambil rendezvous yuk? :)
@hari: jeruknya udah diawetkan untuk kenang-kenangan kok :P
Hmmm konsep memberi tanpa berharap balasan menjadi lebih sulit dilakukan ya hehehehe. Part of me agree with you. Sometimes we need a little appreciation, but i do agree with si mungil. Kenapa mesti tersinggung? kalo kita tersinggung berarti kita menghitung untung rugi dong. Tapi konsep memberi tanpa menerima/mengharap balasan juga susah banget untuk diamalkan. Itu seperti berkait dengan spiritualitas. It's like a concept that need a very long journey to understand and to do it
wahh mbak, perasaan seperti itu wajar kok..malah sempet ada temenku yang dengan gamblangnya bilang tentang untung-rugi saat berteman..agak aneh waktu dengernya, tp dengan mendengar itu, seenggaknya aku ngerti bahwa manusia itu memiliki hati yang berbeda..ngerti mksdku kan?? ;p
hemm..setuju dengan si brokoli..hehehe..
tapi kenyataannya,,saya juga masih sering mengharap sesuatu dari sebuah pertemanan...hehehe
yahh..gak ada yang sempurna kan di dunia ni??
hal kayak gini pernah gua alami...
balik lagi hukum menabur menuai itu berlaku.
yang penting kita buat yang terbaik, suatu saat kita terima balasannya.
enno, gua selalu terpana dengan cara2 kamu menulis. dIKSI diksinya menyentuh.
buka kelas private dong, gua mau ikutan hahahahha..
ya, jeruknya makan aja,jangan biarin kisut
atau kasih aja,ke org yang lebih membutuhkan, tukang sampah yang lewat dpn rumah kali, atau anak jalanan yang biasa mampir ke mobilmu ketika lampu merah merajai jalanan,,,
fiuuuhh...perasaan merasa tidak dianggap berharga oleh teman emang menyesakkan...
saia sering tuh...jd korban seperti itu...lebih tepatnya ketika ada kekasihnya disampingnya diapun mulai lupa siapa sahabatnya
fiuuhh....
dear all, aduh capek deh klo hrs bales satu2.. lagi dedlen bow :D
tengkyulah pokoknya! hehehe
buat maya, jeruknya dah dikasih anak ibu kos haha... aku justru mau buka privat menjahit, mau daftar? hihihi
boleh kok!
boleh...
sah sah saja
manusiawi.
btw, aku suka jeruk.
yaaah tau gitu kukasih ke kamu ya elsa :D
Dalam buah jeruk selain rasa manis pada umumnya, gak jurang juga ada rasa asam, sepet, getir, bahkan gak ada rasa sama sekali.Mungkin tante lagi 'makan' jeruk yang rasanya seperti diatas.Sabar ya tante :D
iya betul sekali... makasih yaaa :)
Bukan gue dong no pastinya huehehe
bukan lah nov... elu kan ngasih duit waktu itu wkwkwkwk
Post a Comment