Tuesday, April 1, 2008

Perempuan Bulan

Ibu, sebentar lagi ulangtahunmu.
Dan aku tak sabar menuliskan kisah yang indah ini. Ketika engkau menuntunku meniti pelangi. Saat langkah kaki-kaki kecilku tertatih dan jatuh. Lukanya selalu sembuh saat kau sentuh.

Engkau yang mengajariku menari di angkasa. Memetik bintang, memeluk purnama. Berayun di bulan sabit dan bercanda dengan mentari. Sambil menyelipkan sakura di telinga. Aku bahkan masih mendendangkan senandung nina bobomu. Dan dongeng-dongeng ajaib yang menemani tidurku. Menumbuhkan sayap-sayap yang membawaku terbang ke mimpi-mimpi masa depan.

Engkau membukakan jendela untukku menjenguk ke cakrawala. Dengan setumpuk buku-buku itu. Bahkan sebelum aku pandai mengeja. Lalu dengan bangga, kepada setiap orang kau kabarkan warta. Bahwa anakmu pandai merangkai kata. Jadilah aku terkenal sebagai pujangga. Di rumah kita. Di antara tetangga. Dan saudara-saudara.

Aku sering nakal padamu. Aku adalah anak perempuanmu yang bengal. Selalu saja membikin kesal. Namun kasihmu tak lekang, seindah bulan.
Engkau adalah perempuan bulanku, Bu.
Yang sinarnya lembut membasuh hari-hari lelah sepulang sekolah. Tidak selalu dengan marah engkau menghukumku. Ke sanggar drama engkau mengajakku. Melepas energi yang meluap-luap itu.

Tahukah engkau, Ibu. Hari pertama aku meninggalkan rumah. Menuntut ilmu ke kota asing, yang jauh dari wangi masakan dan peluk hangatmu. Aku menangis di atas bus yang membawaku pergi. Meninggalkanmu berdiri di sisi jendela. Melambai dan tersenyum. Berseru bahwa aku akan baik-baik selalu. Karena engkau akan mendoakan aku.
Aku menangis, Bu. Malam itu, di kamar sewaanku. Sungguh, betapa sepi itu memagutku. Ternyata aku merindukan suaramu yang seringkali tak kuacuhkan itu.

Jika azan subuh menggema. Tak lelah engkau membangunkan aku. Meski kadang dengan sedikit marah. Lalu engkau akan menyelimuti aku yang tertidur lagi di atas sajadah. Katamu, engkau tak ingin apa-apa. Selain menjadikan aku perempuan solehah.
Dan tahukah engkau Bu, kini aku bangun sendiri tengah malam gulita. Mendirikan sholat setelah berwudhu. Bersimpuh doa agar kita sekeluarga masuk surga.

Maafkanlah anakmu. Belum bisa terimpas cintamu yang tak terukur itu.
Pintu surgaku dalam ridhomu, Ibu. Kepada Tuhan kuncinya kupinta.

______________________________

Bu, rindu bersembunyi di belakang punggungmu, ketika ada yang menggangguku….

4 comments:

Anonymous said...

Seperti biasa, bahasa metafora dan personifikasi yang menohok ke hati :)

Bagus banget mbak enno!

Enno said...

makasih hanny... hanya kado kecil buat ibuku... bikinnya sambil berlinang air mata, terharu sendiri haha :D

-Gek- said...

Terlalu banyak cerita kalo ngomongin soal Ibu ya Mbak, saya jadi rindu juga. Rindu sekali.

Enno said...

iya gek :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...