Ketika hujan turun pagi ini, ingatkah kamu pada sebuah perjumpaan? Butir-butir air turun berderai menampar-nampar kaca jendela, yang memantulkan bayangan wajahku yang menerawang. Air menggenangi halaman. Batu-batu yang disusun berderet rapi menuju beranda berkilau licin. Lapisan lumutnya menjadi hijau tua, menyerap air bagai spons pencuci piring.
Jalanan di depan rumah sama saja. Licin dan abu-abu, bercampur jejak-jejak lumpur dari roda-roda kendaraan bermotor yang lalu lalang, juga dari berpasang-pasang sepatu dan sandal para pejalan kaki yang nekat pergi menerobos hujan. Orang-orang yang begitu rajin, yang tak sedikitpun berpikir untuk membolos kerja. Mestinya aku pun begitu. Sudah sejak tadi ponselku berbunyi. Suara teman-teman kantor yang semuanya bertanya, apakah aku berniat masuk hari ini. Semuanya kujawab entah.
Betapa aku malas beranjak dari jendela. Hujan pagi ini mengingatkanku pada sebuah hari hujan yang lain. Berbulan-bulan yang lalu, di suatu masa yang nyaris tenggelam dalam ingatanku yang mulai memburuk.
Siapakah yang berlari-lari bertudung ponco itu? Aku dan kamukah? Siapa yang membawakan ransel merahku yang berat itu? Kamukah? Kamu menyelubungi kita berdua dengan ponco biru itu. Ya aku mulai ingat. Kita berlari ke mobil yang diparkir agak jauh. Kamu membukakan pintunya untukku, dan secepat kilat sudah duduk di sampingku, di belakang kemudi itu. Lantas menatapku yang menggigil dengan wajah cemas.
“Kamu baik-baik saja? Kedinginan?”
Apakah saat itu aku tersenyum padamu dan menjawab bahwa aku baik-baik saja? Yang aku ingat, wajahmu tampak lega. Kamu mengedipkan mata dengan kocak dan menyodorkan baju hangat yang tersampir di jok belakang.
“Pakai ini,” ujarmu lembut.
“Kamu sempat membawa baju hangat?” Aku tercengang.
“Ini sudah dua hari ada di mobil. Lupa diturunkan,” sahutmu sambil tertawa. Lalu kamu menghidupkan mesin mobil. Hujan begitu deras di atas bukit itu, kamu ingat? Aku cemas kamu tak bisa melihat jalan dari kaca-kaca yang buram tersiram hujan.
“Lihat, hujannya masih terlalu deras.”
“Jangan kuatir,” sahutmu. “Kita pasti bisa turun dengan selamat.”
Ah, betapa tenangnya dirimu. Kamu tak pernah sedikitpun merasa ragu. Selalu yakin setiap melakukan sesuatu. Aku mengagumimu karena itu.
Perjalanan menuruni bukit itu akan selalu kuingat sepanjang hidupku. Laju mobil yang perlahan, hujan deras yang menakutkan dan di bibirmu tersungging senyum yang menenangkan.
(Cerpen yang belum selesai... hilang mood! Duh!)
1 comment:
cieeeeee....nyanyii backsound nya ahhh,
"tik tik tik, bunyi hujan diatas genting, airnya turun tidak terhingga, cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun, basah semua"
hohohohohohoh
Post a Comment