Thursday, August 16, 2007

Minyak Tanah vs Elpiji. Kami Belum Siap, Nich!

Lagi nulis tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji. Hasil pengamatan lapangan, wawancara sana-sini, investigasi... kesimpulannya masyarakat kita belum 100 persen siap ganti kompor. Terutama warga kalangan bawah, mereka ada yang gak bisa nyalain kompor gas gratis yang dibagi pemerintah. Ujung2nya ada beberapa kasus kompor yang meledug. Duh, lagunya Benyamin S jadi kenyataan deh...

Sosialisasinya aja kurang. Ada nih ibu-ibu tukang warung langganan gue yang bilang kalo dia gak tau ada pembagian kompor gas gratis. Ada yang nawarin, katanya. Kirain harus beli... Yaaah...

Menurut gue, masalah konversi minyak tanah ke elpiji ini masalah yang gak kalah seriusnya sama Pilkada atau Pilpres. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kalo kata Pak Nurmahmudi Ismail, Walikota Depok, minyak tanah dan komponennya menjadi bahan bakar pilihan rakyat kecil karena fleksibilitasnya untuk diakses.
Orang bisa beli cuma setengah liter minyak tanah untuk sekedar masak sehari itu. Tapi kalo gas elpiji, tabungnya doang gratis dan berukuran kecil, tapi kan gak mungkin dibeli
eceran.
"Orang tak bisa membeli setengah tabung gas saja saat benar-benar
tidak memiliki uang! Akibatnya? Asap dapur tak akan bisa ngebul dan sejumlah
perut akan keroncongan." Ini gue kutip dari Pak Mahmudi lho!

Emang sih kalo dihitung2, penggunaan gas itu lebih efisien. Tapi itu kan kata rumah tangga yang mapan, kalangan menengah keatas. Kalo kata rumah tangga kalangan bawah? Bayangin aja, seorang pemulung di Jakarta penghasilannya Rp10.000–15.000 sehari. Dengan penghasilannya yang sebesar itu, dia bisa makan pada hari itu dengan rincian pengeluaran, membeli minyak tanah sebesar setengah liter seharga Rp1.500, membeli beras 2 kg seharga Rp6.000 dan sisanya untuk membeli sepotong tempe mentah seharga Rp1.000 yang cukup untuk makan pada hari itu dengan istri dan dua-tiga orang anaknya.
Nah, kalo pake gas? Mampu gak dia beli gas seharga Rp 15 ribu sekali beli, gak bisa diecer?!
Dengan penghasilan Rp10.000–15.000 dan kalau pada hari itu mereka harus beli gas, berarti satu keluarga tidak bisa makan. Karena gas yang harus dibeli kuota minimalnya adalah 3 kg (seharga Rp15.000), gas tidak bisa dibeli eceran yang lebih rendah dari itu, misalnya 0,5 kg atau 1 kg. Dengan demikian, uang penghasilan satu hari itu hanya cukup untuk membeli gas saja, trus gimana beli beras dan tempenya?

Udah gitu, jangankan untuk bisa membeli gas eceran, kalopun bisa membeli gas elpiji dengan volume tabung gas 3 kg, kios atau agen yang menyediakannya masih jarang ada. Kedua, sosialisasi teknologi penggunaan kompor gas ke kalangan masyarakat bawah seenggaknya harus dilakukan selama paling tidak satu tahun, supaya mereka jadi biasa dan nyaman. Dan gak ada ketakutan kalau-kalau tu' kompor meledug!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...