Tuesday, June 6, 2006

Jalan-jalan ke Cangkuang Yuk!

Candi Cangkuang (Garut)

Sebuah rakit sudah siap di tepi danau. Pendayungnya seorang laki-laki muda, membawa sebilah bambu panjang sebagai alat penggerak rakit. Sebenarnya ‘mendayung’ bukan kata yang tepat. Bambu itu ditancapkan ke dasar danau dengan gerakan mengungkit sehingga rakit bergerak perlahan-lahan melintas menuju sebuah pulau di seberang.
Danau itu dinamai seperti halnya candi tempat tujuan para penumpang rakit, Danau Cangkuang dan Candi Cangkuang. Di antara rerimbunan pohon dan semilir angin, terlihat sebuah bangunan batu dari zaman Hindu. Uniknya, persis di sebelahnya ada makam seorang pemuka agama Islam setempat, ‘Mbah Dalem Arif Muhammad.’ Di sekeliling makam, tersebar makam-makam para pengikutnya.

Cangkuang adalah nama sejenis pohon pandan yang banyak terdapat di lokasi itu. Daunnya bisa digunakan sebagai topi, tikar dan pembungkus gula aren. Konon, Arif Muhammad dan para pengikutnya yang membendung daerah ini, sehingga terbentuklah sebuah danau yang kemudian disebut situ (danau dalam bahasa Sunda) Cangkuang, kurang lebih di abad XVII. Setelah bendungan selesai, terbentuklah pulau-pulau dari daratan tinggi yang tidak terendam air.

Arif Muhammad dan teman-temannya itu berasal dari Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka adalah tentara Sultan Agung yang bermaksud menyerang VOC di Batavia yang kala itu dipimpin Gubernur Jenderal J.P. Coen. Namun serangan mereka gagal. Pasukannya terpukul mundur sampai ke Priangan Timur, di kawasan Cangkuang sekarang, yang sekarang termasuk Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Mereka memutuskan tidak kembali ke Mataram dan menetap di daerah itu sambil menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat yang semula memeluk agama animisme, dinamisme dan Hindu.

Arif Muhammad dan semua pengikutnya kemudian memilih menetap di Pulau Panjang, salah satu pulau di tengah danau, yang kini disebut Kampung Pulo. Di pulau itu terdapat sebuah candi Hindu. Ia beranak pinak di kampung itu dan dimakamkan di sebuah bukit yang kemudian ditemukan candi.

Meski sudah lama diketahui adanya masyarakat Kampung Pulo, candinya sendiri baru ditemukan tahun 1966. Tim Sejarah Leles menemukan kerangka bangunan purbakala itu di bukit tempat Arif Muhammad dimakamkan. Penelitian dilakukan hingga 1968. Pemugaran yang sesungguhnya dilakukan pada 1974. Batu-batu asli yang sebagian sempat dijadikan tembok makam dan nisan direkonstruksi lagi ke bentuk asli. Batu yang hilang dibuat tiruannya.

Memasuki Kampung Pulo dimana Arif Muhammad pernah tinggal dan menyebarkan syiar Islam, terasa suasana hening dan tenang. Kampung itu hanya terdiri dari enam rumah panggung tradisional berbentuk panjang dan sebuah mesjid yang berdiri di tengah, menghadap ke gerbang kampung.

Saat berkunjung ke rumah Pak Iri, yang menjadi juru kunci makam dan tetua kampung, kami disambut anak lelaki dan suami anak perempuannya. Pak Iri ternyata sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.

Menurut mereka, Kampung Pulo memiliki adat istiadat dan tabu yang tak boleh dilanggar. Diantaranya jumlah enam buah rumah yang saling menghadap masing-masing tiga di setiap sisi tidak boleh bertambah. Rumah diwariskan kepada anak perempuan yang dipilih berdasarkan musyawarah. Mereka juga tidak boleh memelihara hewan ternak berkaki empat seperti sapi dan kambing karena khawatir akan merusak dan mengotori makam-makam leluhur yang tersebar.

Atap rumah juga harus berbentuk memanjang (jolopong). Selain itu alat musik gong dilarang. Konon dahulu, anak laki-laki satu-satunya Arif Muhammad yang tengah dikhitan diusung dengan tandu berbentuk rumah beratap persegi (jure), diiringi bebunyian gong. Tiba-tiba terjadi angin topan. Anak itu jatuh terbawa angin dan akhirnya meninggal dunia.

Mereka juga tidak berkenan jika ada yang ingin berziarah pada hari Rabu. Karena dulu, setiap Rabu Arif Muhammad mengajar agama. Sehingga hari itu penduduk tidak boleh bekerja. Penduduk Kampung Pulo sampai sekarang percaya jika semua tabu itu dilanggar, akan terjadi bencana besar menimpa mereka.

Candi Cangkuang dan Kampung Pulo-nya memang terasa unik. Untuk kehidupan sehari-hari, mereka menjalankan adat Sunda dan menjalankan ajaran Islam. Generasi mudanya saat ini telah mengenyam pendidikan, minimal tamat SD. Bahkan ada juga yang menjadi pegawai negeri sipil. Namun tradisi tetap dipegang erat oleh para keturunan Arif Muhammad.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...