Sunday, September 23, 2018

Algernon Project: Meet Algernon

Liebe Marie,

Aku sudah bertemu dengan lelaki yang kau rekomendasikan itu di sebuah kafe di Altstadt―kawasan kota paling tua di Würzburg. Aku datang sepuluh menit lebih awal dari waktu janjian. Karena, yah, kalian orang Jerman kan punya punktlichkeit alias budaya tepat waktu. Aku tidak mau mencoreng nama bangsa dan negaraku di mata lelaki ini, kalau aku sampai datang terlambat. Jangan sampai ia mengira bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak menghargai waktu (walaupun kadang-kadang, kupikir itu ada benarnya juga).

Pokoknya, kemarin itu akhirnya aku datang ke kafe itu. Mencari-cari sosoknya.

Kau bilang padaku, ia jangkung dan tampan. Ketampanan yang menyolok mata (yang membuatku pura-pura muntah saat kau mengatakannya dengan lebay). Aku berdiri dekat meja bar, menjulurkan leher panjang-panjang ke seantero ruangan (yang untungnya tidak terlalu ramai), sampai seseorang yang duduk di kursi bar, tak jauh dari posisiku berdiri menyapaku dalam bahasa Inggris.

Are you the Indonesian journalist?

Aku menoleh, mendapati seseorang lelaki tengah menatapku seraya beranjak dari kursinya. Kakinya begitu panjang dan ketampanannya menyolok mata. Oh, sial, Marie! Kenapa kau tidak bilang dia lebih mirip orang Asia? Matanya sipit dengan alis seperti golok, kulitnya putih tapi tidak pucat kemerahan. Rambutnya hitam seperti bulu gagak.  Sementara, sejak awal, aku mencari-cari sosok lelaki bule.

Ja bin ich. Bist du Algernon Katz?” Aku harus tengadah saat bicara dengannya. Badan pendek menyebalkan!

Sebelah alisnya terangkat, seolah tak mengira aku menyahut dalam bahasa Jerman. Kemudian, ia mengangguk, dan memberi isyarat agar mengikutinya ke sebuah meja yang jauh dari keriuhan. “Kita bisa bicara di sini. Tidak keberatan, kan? Oh, dan panggil aku Algernon. Tidak perlu bersikap formal.”

Dia sopan sekali, Marie. Soal yang ini kau juga tidak bilang padaku. Kami berdua memesan Espresso. Lalu kukatakan padanya, bahwa sebaiknya aku menjelaskan maksudku menemuinya.

Ich weiβ das. Marie Schneider sudah bilang padaku di telepon. Katanya, kau sedang mengumpulkan cerita-cerita perjalanan yang menarik dari seluruh dunia untuk bahan tulisanmu.”

Das stimmt.” Aku mengangguk. “Marie bilang, selama bertahun-tahun kau berkeliling ke banyak negara dan membaur dengan orang-orang lokal. Kau menantang maut dengan mencoba berbagai hal ekstrim di negara-negara itu. Menurutku, itu keren sekali.”

Espresso kami sudah datang. Ia tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan isi cangkirnya, Marie. Wajahnya adalah wajah paling tak terbaca yang pernah kulihat, dari begitu banyak orang yang kutemui sepanjang karirku sebagai wartawan. Sekilas aku melihat sudut-sudut bibirnya melengkung ke bawah. Entah kenapa, ada aura kesedihan yang kurasakan dari dirinya.

“Itu sama sekali tidak keren.” Akhirnya dia menjawab. Mengalihkan tatapannya dari cangkir pada entah apa di belakang punggungku. Lalu, aku menyadari sesuatu. Matanya. Mata hitamnya yang menerawang itu, seperti tak memiliki cahaya. Semakin lama aku menatapnya, aku seperti terisap ke dalam terowongan gelap dan sunyi. Megap-megap kehabisan udara. Sihir apa ini?

Oh, hentikan! Aku memarahi benakku yang terlalu tinggi berimajinasi. Jangan menganggap pria menarik ini seperti penyihir!

“Kalau boleh jujur, aku sebenarnya enggan menjadi narasumber. Aku tidak terlalu pandai bercerita tentang diri sendiri, asal kau tahu. Marie berhasil membujukku. Itu memang keahliannya sejak dulu. Ia bilang, kau wartawan yang sudah sangat berpengalaman dan penulis yang handal. Aku mempercayai pendapat Marie. Karena itu, aku setuju untuk bertemu denganmu.”

Danke,” sahutku. “Semoga tulisanku kelak tidak akan mengecewakanmu. Ceritakan saja padaku perjalanan yang menurutmu paling menarik.”

“Entahlah. Aku sudah pergi ke banyak tempat. Yang terakhir adalah tinggal di Afrika selama enam bulan. Aku tidak tahu apakah itu akan menarik buat orang lain.”

Entah bagaimana, suatu pikiran terlintas begitu saja setelah aku bersamanya selama beberapa menit yang berjalan. Tidak, Marie. Aku tidak ingin cerita-cerita petualangannya. Itu bisa kudapatkan nanti dari narasumber-narasumberku yang lain. Dari lelaki ini, yang dirinya tampak begitu kompleks, aku ingin cerita yang lain. The story behind the adventures.

Ketika itu kukatakan padanya, ia menatapku lama sekali. Kupikir ia akan marah, karena tiba-tiba saja terowongan di matanya menjadi kumparan. Mengirimkan gelombang rasa sakit yang membuatku menggigil. Aku ingin berkata padanya, ‘hentikan!’ Namun, mulutku seperti terkunci. Kau yakin, mantan teman kuliahmu ini bukan dukun atau penyihir, Marie? Kenapa aku tiba-tiba merasa sangat depresi saat bersamanya?

Lalu ia berkata, “Kurasa, kalau kau ingin cerita semacam itu dariku, kau harus menunggu. Kau ingin tahu kenapa aku melakukan perjalanan-perjalanan berbahaya? Kau akan mengetahuinya, kalau kau sedikit bersabar.”

“Kenapa aku harus menunggu? Kenapa tidak sekarang saja kau ceritakan padaku, Algernon?”

“Kalau tidak begitu, di mana letak keseruannya? Bukankah lebih hebat jika ada unsur suspense di dalamnya? Orang-orang menyukai twist ending, bukan?”

“Aku tidak mengerti apa maksudmu. Berapa lama aku harus menunggu?”

Ia tersenyum. Senyum yang begitu sendu.

Oh, Marie! Tiba-tiba aku mendengar tanda bahaya berdering di benakku. Aku seperti punya firasat buruk saat melihat senyum itu! Suspense apa? Twist ending apa?

Kuharap, tak akan terjadi apa-apa. Kuharap, ketakutanku tak beralasan, karena aku hanya sangat terpesona padanya sampai berhalusinasi. Kuharap, aku tak harus menunggu kabar darinya terlalu lama, untuk mengetahui segala alasan yang ia simpan. Bitte, Gott.

Liebe Gruβe,
- E -

**Catatan Penulis

Algernon adalah tokoh utama pria di dalam novel terbaru saya “A Day to Remember”, yang akan diterbitkan Penerbit KataDepan.

Sungguh menyenangkan, akhirnya mendapatkan judul yang final, setelah selama ini hanya sebagai Algernon Project saja.

Nantikan, tinjauan-tinjauan lainnya tentang A Day to Remember di blog ini. Terima kasih.

Bahasa:
*Ja bin ich. Bist du Algernon Katz? = Ya, saya. Apakah kamu Algernon Katz?
*Ich weiβ das = Aku tahu itu
*Stimmt = benar
* Liebe Gruβe = salam sayang
*Bitte, Gott = Tolong, Tuhan

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...