Giok Ibu

Aku menemukan gelang dan liontin itu di lemari Ibu yang lama. Lemari yang berisi baju-baju lama sehingga jarang dibuka. Ngomong-ngomong, ibuku agak-agak mirip Imelda Marcos kalau soal koleksi busana. Bajunya lebih dari dua lemari (ditambah satu lemari lagi khusus kerudung), anehnya yang suka dipakainya tak lebih dari sebagian.

Kebiasaan ini menurun pada Kak Ussy. Punya pakaian banyak, tapi yang dipakai itu-itu terus. Aku cewek paling simpel di rumah. Tidak pernah ada baju yang tak terpakai di lemariku dan jumlahnya jarang bertambah banyak. Jika membeli dua baju, maka akan kupilih dua baju lama yang paling membosankan untuk kuberikan pada orang lain. Buat apa menyimpan pakaian yang tidak terpakai lagi, sementara di luar sana masih banyak yang membutuhkannya, kan?

Well, kembali ke soal gelang dan liontin Ibu. Kedua perhiasan itu terbuat dari giok. Mereka seolah-olah menyala hijau di balik kertas-kertas usang di dalam laci lemari. Aku tak tahu kenapa Ibu mengabaikannya. Mungkin karena bosan. Mungkin juga karena Ibu memang tidak terlalu suka aksesori.

Orang-orang Cina kuno menganggap batu giok merupakan simbol harapan, keberuntungan dan kebahagiaan. Banyak orang meyakini, batu Giok memiliki khasiat melindungi dari hawa jahat. Jadi tentu saja kupungut gelang dan liontin itu dengan senang hati.

"Itu dapat dari mana?" Pekik ibuku saat pertama kali melihat gelang itu kupakai.
"Dari lemari Ibu."
Ibuku terbelalak. Tampaknya ia sudah lupa punya gelang giok yang bagus. Aku nyengir.
"Lemari mana?"
"Lemari lama. Sama liontinnya juga."
"Oh, ya sudahlah. Pakai saja."
"Ya iyalah. Kalau Ibu minta lagi juga aku nggak bakal ngasih."

Ibuku cuma bisa bengong memandangiku memakai gelang gioknya yang indah dan mudah-mudahan akan memberi aku keberuntungan.
Hihihi.