Ia meneleponku. Seseorang dari masa lalu. Suaranya masih selembut dulu. Masih tetap dalam intonasi yang sama, agak bergetar menahan rindu.
"What are you doing?"
Itu kata favoritnya. Terlalu basi, terlalu biasa. Seolah-olah bertahun jarak dari pertemuan terakhir kami sama sekali tak berarti.
"What are you doing?" Ia bertanya lagi, karena aku terlalu terpana untuk menjawab.
"Writing something as usually."
"Writing..." Suaranya mengambang dalam jeda. "Always writing."
"That's my job."
"Ya. I know."
"Kemana saja?" Tanyaku. "Pergi kemana angin membawa?"
"Yup."
"Dan lupa pulang?"
"Selalu begitu." Terdengar tawa kecil yang pahit. "Dan akhirnya aku kehilanganmu."
"Sudah sepantasnya begitu."
"Aku mendengar banyak tentangmu. Kamu benar-benar melupakanku."
"Aku bukan orang yang sabar menunggu tanpa kejelasan. Kamu kan tahu, aku orang yang harus selalu memperoleh kepastian. Hubungan tanpa bentuk yang kita miliki dulu bukan hubungan yang aku inginkan."
"Kamu memang tidak sabaran."
"Bukan," sahutku. "Aku orang yang realistis. Kalau kamu mencintaiku, kamu akan sekuat tenaga membuktikannya kepadaku. Tetapi kamu malah membiarkan aku menunggu, tanpa kepastian, tanpa komitmen jelas. Kamu pikir kata 'I love you' itu cukup? Aku tidak mengukur kesungguhan seseorang kepadaku hanya dengan kata-kata tanpa bukti nyata."
"Tapi dulu kamu juga bilang kamu mencintaiku."
"Ya, dulu aku juga mencintaimu. Tetapi aku terlalu lelah mengikuti permainanmu, sehingga kutanggalkan perasaanku."
"Semudah itu?"
"Mudah?" Giliran aku yang tertawa. Tawa yang terdengar pahit dan sumbang di telingaku sendiri. Rasa sakit yang sudah lama hilang kini hanya tersisa seujung kuku. "Kamu benar-benar nggak punya perasaan kalau menuduhku merasa mudah membuang semua itu."
Ada jeda. Kudengar helaan napasnya yang berat. Apakah nikotin telah semakin memberatkan paru-parunya? Masihkah ia menyempatkan diri lari pagi seminggu sekali? Aku ingin bertanya, sekedar ingin tahu. Tetapi kutahan. Nanti ia mengira aku masih menyimpan rasa.
"Kalau aku kembali ke Jakarta, masihkah ada tempat untukku?"
"Kamu selalu menjadi temanku."
"Bukan itu No, kamu tahu maksudku."
"Sudah ada yang lain."
"Kamu mencintainya?"
"Ya."
"Selamanya?"
"Inginku begitu. Tapi aku bukan Tuhan yang bisa menentukan masa depan. "
"Kamu akan melepaskan perasaanmu bila ternyata ia pun memperlakukanmu seperti aku?"
"Aku berdoa semoga ia tidak seperti kamu."
"I miss you, you know that."
"Jangan. Lanjutkan hidupmu."
"Aku tidak akan kembali ke Jakarta jika begitu."
"Itu keputusanmu. Terserah kamu."
Ketika ia pamit, aku berharap ia tak meneleponku lagi. Aku ingin ia melupakan aku, seperti aku telah melupakannya bertahun-tahun lalu.
No more game. No more waiting in vain.
"What are you doing?"
Itu kata favoritnya. Terlalu basi, terlalu biasa. Seolah-olah bertahun jarak dari pertemuan terakhir kami sama sekali tak berarti.
"What are you doing?" Ia bertanya lagi, karena aku terlalu terpana untuk menjawab.
"Writing something as usually."
"Writing..." Suaranya mengambang dalam jeda. "Always writing."
"That's my job."
"Ya. I know."
"Kemana saja?" Tanyaku. "Pergi kemana angin membawa?"
"Yup."
"Dan lupa pulang?"
"Selalu begitu." Terdengar tawa kecil yang pahit. "Dan akhirnya aku kehilanganmu."
"Sudah sepantasnya begitu."
"Aku mendengar banyak tentangmu. Kamu benar-benar melupakanku."
"Aku bukan orang yang sabar menunggu tanpa kejelasan. Kamu kan tahu, aku orang yang harus selalu memperoleh kepastian. Hubungan tanpa bentuk yang kita miliki dulu bukan hubungan yang aku inginkan."
"Kamu memang tidak sabaran."
"Bukan," sahutku. "Aku orang yang realistis. Kalau kamu mencintaiku, kamu akan sekuat tenaga membuktikannya kepadaku. Tetapi kamu malah membiarkan aku menunggu, tanpa kepastian, tanpa komitmen jelas. Kamu pikir kata 'I love you' itu cukup? Aku tidak mengukur kesungguhan seseorang kepadaku hanya dengan kata-kata tanpa bukti nyata."
"Tapi dulu kamu juga bilang kamu mencintaiku."
"Ya, dulu aku juga mencintaimu. Tetapi aku terlalu lelah mengikuti permainanmu, sehingga kutanggalkan perasaanku."
"Semudah itu?"
"Mudah?" Giliran aku yang tertawa. Tawa yang terdengar pahit dan sumbang di telingaku sendiri. Rasa sakit yang sudah lama hilang kini hanya tersisa seujung kuku. "Kamu benar-benar nggak punya perasaan kalau menuduhku merasa mudah membuang semua itu."
Ada jeda. Kudengar helaan napasnya yang berat. Apakah nikotin telah semakin memberatkan paru-parunya? Masihkah ia menyempatkan diri lari pagi seminggu sekali? Aku ingin bertanya, sekedar ingin tahu. Tetapi kutahan. Nanti ia mengira aku masih menyimpan rasa.
"Kalau aku kembali ke Jakarta, masihkah ada tempat untukku?"
"Kamu selalu menjadi temanku."
"Bukan itu No, kamu tahu maksudku."
"Sudah ada yang lain."
"Kamu mencintainya?"
"Ya."
"Selamanya?"
"Inginku begitu. Tapi aku bukan Tuhan yang bisa menentukan masa depan. "
"Kamu akan melepaskan perasaanmu bila ternyata ia pun memperlakukanmu seperti aku?"
"Aku berdoa semoga ia tidak seperti kamu."
"I miss you, you know that."
"Jangan. Lanjutkan hidupmu."
"Aku tidak akan kembali ke Jakarta jika begitu."
"Itu keputusanmu. Terserah kamu."
Ketika ia pamit, aku berharap ia tak meneleponku lagi. Aku ingin ia melupakan aku, seperti aku telah melupakannya bertahun-tahun lalu.
No more game. No more waiting in vain.
5 comments:
hemm..saya banget nih...yang cowonya maksudnya..
duh..
masa? wah wah nyebelin lho co spt demikian itu hehe :D
iya,idem!
nyebelin...
Pacarku juga seperti itu, menggantungku tanpa kepastian selama sepuluh tahun. Tapi aku tetap sabarmenunggu. Walau entah sampai kapan.
waduuuh.... salut sama kesabarannya mbak :)
Post a Comment