Sunday, June 26, 2011

Kelor #5

Aku tak tahu dimana aku akan mati

Aku melihat samudra luas di pantai selatan ketika datang kesana dengan ayahku, untuk membuat garam;

Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku dilempar ke air dalam, ikan hiu berebutan datang;

Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya : "siapa antara kita akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air?"

Aku tak akan mendengarnya.


(kutipan Saija dan Adinda, dari novel Max Havelaar, Multatuli)

....................


Selat Sunda, 10 Februari 1933

Zeven Provincien membelah laut dengan mantap. Langit pagi biru cerah seperti kemarin. Doa para awak kapal agar tak ada badai yang datang menghalangi perjalanan mereka sejauh ini terkabul. Seekor burung camar hinggap di atas moncong meriam di haluan. Seorang kelasi dengan wajah mengantuk karena tak tidur semalaman meraih teleskopnya.

Ia memutar tubuhnya ke semua arah dengan mata menempel di teleskop itu. Di belakang Zeven tampak sebuah kapal membuntuti. Itu kapal Java. Lalu dilihatnya dua titik tak jauh dari Java, yang malam sebelumnya tak dilihatnya.

Ia bergegas mencari Martin Paradja. Tapi yang dijumpainya adalah Maud Boshart. Sedang mondar mandir di geladak, memeriksa meriam.

“Dua kapal torpedo di belakang, Kopral!” Lapornya. “Mengiringi Java. Sepertinya tiba sejak semalam.”
Maud meraih teleskop dan pergi ke buritan. Benar. Ada dua kapal yang dikenalnya di sana.

“Mereka mengirim kapal torpedo Piet Hien dan Evetsen,” ujarnya pada Martin Paradja yang muncul di buritan dan ikut mengarahkan teleskopnya sendiri ke kejauhan.

Paradja mengangguk. Wajahnya keruh oleh firasat yang datang tiba-tiba. Belum sempat ia bicara, terdengar suara pesawat melintas di udara, di atas Zeven. Pesawat itu berputar-putar di sana, seolah tengah menakut-nakuti mereka.

“Mereka juga mengirim Dornier,” gumam Boshart, sambil menatap pesawat pembom milik Angkatan Laut Kerajaan itu.

Tapi tampaknya teman-teman pribuminya tak merasa gentar. Mereka tetap tak ingin menyerah, meski pesawat pembom itu terus mengintimidasi dengan terbang rendah di atas mereka.

“Kita tetap lanjutkan perjalanan,” ujarnya kemudian pada semua pelaut Belanda yang ikut mendukung pemberontakan. “Kita berjuang demi solidaritas pada teman-teman pribumi.”

Tepat pukul 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak kapal Zeven memberikan perlawanan dengan tembakan meriam dan senjata api. Beberapa orang mengalami luka-luka.

“Pelupessy terluka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya.

Kapal itu ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Martin Paradja tewas saat pemboman itu, juga kedua temannya Rumambi dan Gosal.

“Martin tewas!” Seorang kelasi memberitahu Kawilarang yang sedang membidikkan meriam ke kapal musuh.
“Bagaimana yang lainnya?”
“Rumambi dan Gosal juga tewas!”
“Mana Boshart? Panggilkan dia!”

Kelasi itu berlari mencari Boshart yang tadi dilihatnya sedang di ruang navigasi. Di tengah desing peluru meriam, salakan senjata api dan deru pesawat Dornier di atas kepala, Boshart berlari menghampiri Kawilarang.

“Boshart, sepertinya aku yang harus memimpin sekarang!” Ujarnya. “Aku akan menggantikan Paradja memberi komando pada yang lain. Kau yang mengurus navigasi dan mesin!”

Tak berapa lama, jumlah orang yang tewas semakin banyak. Korban terbanyak ada di pihak pelaut pribumi. Belakangan menurut catatan sejarah sebanyak 20 awak Indonesia dan 3 awak Belanda dinyatakan tewas akibat serangan itu.

Zeven Provincien tidak dilengkapi meriam penangkis serangan udara. Menimbang begitu banyak korban yang jatuh, Kawilarang memutuskan untuk menyerah. Ia memerintahkan untuk mengibarkan bendera putih dan mengirim telegram ke kapal Java untuk meminta bantuan medis segera.

Para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan Kapal Java dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan Kapal Orion. Mereka ditahan sementara di Pulau Onrust.

Sebanyak 545 awak kapal pribumi dan 81 awak kapal Belanda ditahan akibat pemberontakan itu. Kawilarang, karena dianggap memimpin pemberontakan, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun. Mereka dipindahkan ke penjara militer di Sukolilo, Madura, dimana secara keseluruhan para pemberontak dituntut 644 tahun oleh Mahkamah Militer.

Media Jepang mengutip komentar Kawilarang tentang hukumannya. “Dihukum mati pun saya bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda.”


-bersambung….


Para kelasi Belanda yang ikut memberontak di kapal Zeven, dibawa ke Raad van Justisie (pengadilan).

Pemberontak Zeven Provincien ditahan di Penjara Pulau Onrust



Image and video hosting by TinyPic

6 comments:

Arman said...

waduh postingannya berat2 no... jadi bingung mau komen apa.
posting yang enteng2 dong no.... :D

Rona Nauli said...

No, itu diserangnya dimana? masih di selat siberut?

Enno said...

@arman: lha? ini kan lo juga komen, man hihihi

@rona: di selat sunda :)

Gloria Putri said...

maw komen soal quotenya, multatuli...kayaknya aq pernah denger dehh...tp blm pernah baca :(
mba enno pny?
pinjem dongggg :D

Enno said...

@glo: pinjem? beli dunks! hehehehe.... aku baca udah lama, bkn punyaku... tapi aku sengaja nyatet quote2 yg bagus dr buku itu :P

Noyalita Khadij said...

pengen sajak-a saijah #kelor 5 yg lengkap,,heu punya gk?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...